Jika preman berseragam ormas lolos dari hukum setelah memeras pemilik usaha atau penjual makanan kaki lima, mereka akan mencari peluang lain untuk memaksa mendapat uang tunai dari siapa saja.
Ormas yang melakukan pemerasan dengan dalih memberi jasa perlindungan merupakan hal jamak di Indonesia. Buktinya, ada fenomena kelompok-kelompok tersebut berupaya mengeruk "tunjangan hari raya" atau THR, dari perusahaan, bahkan sekolah, menjelang Idul Fitri.
Tindakan premanisme tersebut merupakan kejahatan. Karena itu, harus diberantas melalui penegakan hukum yang tegas. Pasalnya, tindakan itu bukan hanya merugikan investasi, tetapi juga menyebarkan ketakutan dan ketidakpercayaan di masyarakat.
Dalam satu insiden baru-baru ini di Tangerang, Banten, sekelompok orang menikam dua satpam di sebuah sekolah kejuruan negeri karena menolak upaya mereka menarik THR dari sekolah tersebut. Di tempat lain di Kota Tangerang, Jawa Barat, polisi menangkap seorang pria setelah permintaannya untuk mendapatkan THR dari sebuah perusahaan menjadi viral di jagat maya.
Banyak yang mengatakan bahwa maraknya pemerasan ini merupakan akibat dari krisis ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia. Perekonomian sedang mengalami masa stagnasi, dan kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan program populis, dan bukannya mengatasi masalah ekonomi yang mendesak ini, turut menciptakan lingkungan yang penuh tantangan.
Namun, kesulitan ekonomi tidak lalu membuat tindak kejahatan menjadi dapat diterima. Begitu sang preman yang menyamar sebagai ormas lolos dari jerat hukum setelah memeras pemilik usaha atau penjual makanan kaki lima, mereka akan mencari peluang lain untuk memeras dan mendapatkan uang dalam jumlah besar.
Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala mencatat bahwa premanisme tidak hanya dilakukan oleh kelompok kriminal. Negara juga dapat melakukan tindakan semacam itu. Telah dilaporkan adanya oknum-oknum nakal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Nasional, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan aktor negara lainnya yang menggunakan wewenang mereka untuk menuntut pembayaran dari pelaku usaha dan mangsa empuk lainnya.
Oleh karena itu, memberantas premanisme merupakan tantangan tersendiri karena banyak pihak yang diuntungkan darinya. Konflik antara TNI dan polisi atas dugaan pemerasan di seputar jaringan judi sabung ayam di Lampung menunjukkan betapa mengakarnya praktik tersebut di negara ini.
Ormas tertentu menggunakan intimidasi dan kekerasan tanpa takut ditindak tegas oleh polisi. Contohnya adalah kasus pemerasan menjelang Idul Fitri. Mereka tidak takut, mungkin karena afiliasi mereka dengan pihak yang berkuasa. Dalam bukunya Reformasi: Perebutan Kekuasaan di Indonesia Pasca-Soeharto, jurnalis Kevin O'Rourke menulis bahwa rezim Orde Baru juga memanfaatkan ormas seperti Pemuda Pancasila dan Pemuda Panca Marga untuk operasi "mempertahankan rezim". Pada puncak gerakan Reformasi 1998, dibentuk kelompok Pam Swakarsa. Kelompok ini melawan demonstran mahasiswa yang menuntut agar demokrasi dipulihkan.
Gerakan Reformasi mengajarkan kita bahwa kelompok-kelompok seperti itu merupakan ancaman bagi demokrasi. Alasannya, rezim yang berkuasa dapat dengan sengaja mengerahkan mereka untuk melawan masyarakat sipil atas nama rezim, sementara rezim yang berkuasa justru menjaga jarak dari kebrutalan.
Kita tidak boleh bersikap toleran pada kelompok mana pun yang melakukan pungli atau menggunakan kekerasan. Karena itu, pernyataan Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi'i dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno yang menyatakan bahwa pungutan liar THR adalah hal wajar, patut disesalkan.
Polisi harus menindak para preman. Jika tidak, kelompok lain akan melakukan premanisme juga. Maraknya pungli dengan dalih bonus Idul Fitri menunjukkan ketidakhadiran polisi di saat masyarakat sangat membutuhkannya.
Kita tentu tidak ingin tindakan ekstrem, seperti pembunuhan di luar hukum, yang terjadi pada masa perlawanan terhadap preman di era Soeharto tahun 1980-an. Polisi hanya perlu menegakkan hukum dengan baik dan tanpa pandang bulu.
Menjelang Idul Fitri nanti, polisi harus melakukan persiapan untuk menanggulangi pungutan liar berkedok bonus hari raya. Upayanya harus setara dengan usaha mereka melakukan pengaturan lalu lintas bagi pemudik. Menambah kehadiran polisi di kawasan industri merupakan salah satu pilihan. Namun, bisa juga dilakukan cara lain untuk memberikan rasa aman.
Yang pasti, negara tidak boleh kalah dari para preman.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.