Sistem perekrutan dan pengawasan yang lebih baik dapat membantu mengurangi peluang terjadinya korupsi di lembaga peradilan. Selama ini, lembaga tersebut tidak dapat dikenai pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial.
Sungguh disayangkan bahwa lembaga peradilan tidak asing terhadap pelanggaran dan korupsi justru karena kekuasaan yang dimiliki lembaga tersebut.
Dalam skandal terbaru yang menimpa lembaga peradilan negara ini, pekan lalu, Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap empat hakim atas dugaan menerima suap. Dana suap itu merupakan imbalan atas pembebasan tiga kelompok besar terkait kelapa sawit dari tuduhan korupsi, yang terjadi bulan lalu.
Salah satu hakim, Muhammad Arif Nuryanta, dituduh mengatur putusan yang menguntungkan tersangka dan menyuap tiga hakim yang ia pilih sendiri untuk persidangan, setelah menerima suap sebesar Rp60 miliar (3,5 juta dolar Amerika). Suap diperoleh dari dua pengacara yang mewakili perusahaan tersebut. Arif menjabat sebagai wakil kepala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, saat sidang dimulai pada awal 2024.
Dari para hakim, penyidik Kejagung menyita sejumlah uang tunai dalam mata uang rupiah, dolar Singapura dan dolar Amerika Serikat, serta yuan Tiongkok. Sedangkan dari para pengacara, disita sejumlah mobil mewah.
Penangkapan yang terbaru ini terjadi lebih dari dua dekade setelah Mahkamah Agung (MA) meluncurkan reformasi peradilan pada awal 2000-an. Reformasi dilakukan di seluruh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di bawah wewenangnya. Dengan terungkapnya kasus ini, tampak bahwa MA gagal mengendalikan korupsi di jajarannya.
Kasus ini semakin menegaskan kecurigaan publik bahwa keadilan dapat dibeli, dan peradilan sama korupnya dengan dua cabang kekuasaan lainnya, eksekutif dan legislatif.
Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa, dari 2010 hingga 2024, mereka menangkap 31 hakim atas tuduhan korupsi. Memang, jumlah itu sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah pejabat pemerintah dan anggota parlemen yang korup.
Namun ketika para hakim korupsi, sulit untuk mengharapkan terlaksananya keadilan bagi semua. Integritas yang memungkinkan hakim memperlakukan semua orang sama di hadapan hukum tidak boleh diperjualbelikan. Sebaliknya, integritas harus menjadi standar tertinggi bagi semua hakim.
Survei Transparency International Indonesia (TII) yang dirilis pada 2022 menemukan bahwa masyarakat percaya jika hakim punya peluang paling besar untuk korupsi, dibandingkan dengan pejabat pengadilan lainnya. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden tidak percaya bahwa pengadilan dapat memberi keputusan yang adil.
Survei TII lainnya yang mewawancarai 35 praktisi hukum menemukan bahwa mayoritas responden percaya jika proses musyawarah sebelum putusan adalah proses yang paling rentan terhadap korupsi.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya 29 hakim telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap, dengan imbalan memberi putusan yang menguntungkan bagi terdakwa korupsi antara tahun 2011 dan 2024.
Proses penangkapan hakim yang terjadi baru-baru ini dilakukan setelah korps peradilan menaikkan gaji mereka akhir tahun lalu, di akhir masa pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo. Kenaikan gaji dilakukan setelah para hakim melakukan serangkaian protes. Awal bulan ini, Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan untuk menaikkan lagi gaji mereka, dengan alasan agar mereka "tidak dapat disuap".
Namun, masalah korupsi di lembaga peradilan perlu ditangani secara sistematis. Masalah ini tidak bisa hanya dilihat sebagai konsekuensi dari buruknya sistem pengupahan.
Sistem perekrutan dan pengawasan yang lebih baik dapat membantu mengurangi peluang terjadinya korupsi di lembaga peradilan. Selama ini, lembaga peradilan tidak dapat diawasi secara eksternal oleh Komisi Yudisial. Mahkamah Agung sering kali mengabaikan rekomendasi komisi tersebut terkait sanksi terhadap hakim yang melakukan kesalahan.
Ada juga alasan kuat untuk mengatakan bahwa kegagalan mencegah korupsi di kalangan hakim adalah akibat tidak adanya efek jera.
Di antara skandal terbesar di lembaga peradilan adalah kasus suap pada 2022 di Mahkamah Agung. Kasus itu melibatkan dua hakim dan beberapa pejabat pengadilan, termasuk sekretarisnya dan seorang panitera. Salah satu hakim, Sudradjad Dimyati, dijatuhi hukuman delapan tahun penjara, lebih ringan dari 13 tahun yang dituntut jaksa. MA kemudian mengurangi hukuman Sudradjad menjadi tujuh tahun, sementara hakim lainnya dibebaskan dari semua tuduhan.
Karena itu, sepertinya tidak ada cara lain demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan selain mencegah hakim melakukan korupsi. Kita telah melihat preseden ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada 2014. Akil terbukti menerima suap untuk memengaruhi keputusan sengketa pemilu selama masa jabatannya di pengadilan tersebut.
Untuk menjaga kredibilitas sistem peradilan kita, hakim yang korup layak mendapat hukuman maksimal.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.