Huru hara di Surakarta seharusnya memicu diadakannya kajian menyeluruh terhadap daerah-daerah istimewa. Secara umum, pembentukan daerah-daerah baru merupakan praktik-praktik yang dapat merusak lembaga-lembaga demokrasi kita.
Kota kesultanan Surakarta, yang juga dikenal sebagai Solo, di Jawa Tengah, baru-baru ini menjadi perbincangan hangat. Percakapan bukan seputar acara besar yang akan diselenggarakannya, tetapi karena kontroversi mengenai kelayakan kota itu mendapatkan status daerah istimewa, seperti yang telah dinikmati tetangganya, Yogyakarta, sejak berdirinya Republik Indonesia.
Dalam sidang Komisi II DPR yang mengawasi urusan dalam negeri pada 24 April, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Akmal Malik mengatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri telah menerima aspirasi untuk membentuk enam daerah khusus, termasuk di Jawa Tengah.
Anggota DPR Ahmad Irawan mengatakan kepada media bahwa seorang anggota keluarga kerajaan Surakarta, Dany Nur Adiningrat, berada di balik usulan pembentukan Surakarta sebagai daerah istimewa yang terpisah dari Provinsi Jawa Tengah.
Berbicara kepada media, Dany mengatakan peran kesultanan Surakarta pada fase awal kemerdekaan Indonesia. Ia sebutkan bahwa hak-hak Surakarta atas aset masa lalunya harus diakui oleh negara, dengan mengembalikan status istimewa kepada kota tersebut. Status itu dicabut pada 1946. Dany juga berbicara di media sosial atas nama putra mahkota kesultanan Surakarta, Hamengkunegoro Sudibya. Menurutnya, putra mahkota menyatakan penyesalan bahwa kesultanan tersebut bergabung dengan Republik.
Setelah Indonesia merdeka, Surakarta diberi status daerah istimewa, yang memungkinkan pemerintahan sendiri bagi kesultanannya, mirip dengan Yogyakarta. Kesultanan Yogyakarta masih punya otoritas ini. Sedangkan Surakarta kehilangan kekuasaannya pada 1950, ketika kota tersebut ditambahkan ke Provinsi Jawa Tengah. Hal itu dilakukan setelah ada sentimen antimonarki yang tumbuh pada 1946.
Seorang pengacara yang mewakili kesultanan Surakarta mengatakan bahwa sultan tidak ada urusan dengan pengajuan status daerah istimewa. Sementara itu, Wali Kota Surakarta Respati Ahmad Ardianto dan Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi telah menolak gagasan tersebut.
Aspirasi untuk menghidupkan kembali daerah istimewa Surakarta tampaknya kurang mendapat dukungan publik dan juga minim dukungan politik. Hal itu sedikit banyak mencerminkan adanya perbedaan pendapat di internal kerajaan, yang tidak lagi punya kuasa nyata. Anggota DPR mungkin menganggap wacana itu bukan masalah, tetapi hiruk pikuk pengajuan status istimewa oleh Surakarta seharusnya memunculkan adanya kajian komprehensif tentang daerah istimewa, juga pembentukan daerah baru secara umum, sebagai praktik yang dapat merusak lembaga demokrasi kita.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak secara khusus membahas masalah pemberian status khusus kepada suatu daerah. Namun dalam praktiknya, status tersebut diberikan kepada suatu daerah berdasarkan kekhususan sejarah, budaya, dan perannya dalam pembentukan Republik Indonesia.
Misalnya, Yogyakarta memperoleh status istimewa, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai pengakuan atas sejarah Yogyakarta. Di masa lalu, Yogyakarta adalah kerajaan yang secara sukarela bergabung dengan Republik Indonesia setelah kemerdekaan. Kota itu juga berkontribusi terhadap pembentukan negara.
Wujud status khusus bagi Yogyakarta adalah adanya hak istimewa yang diberikan kepada Sultan Yogyakarta sebagai gubernur, dan penguasa kerajaan Pakualaman bertindak sebagai wakil gubernur. Mereka diangkat tanpa melalui pemilihan umum. Praktik ini bertentangan dengan prinsip demokrasi elektoral. Dalam demokrasi, rakyat menggunakan hak mereka untuk memilih pemimpin daerah. Status daerah istimewa, sampai batas tertentu, membenarkan keberadaan monarki dalam Republik.
Aceh juga punya status istimewa, yang memungkinkan provinsi tersebut menegakkan aturan syariat. Ini adalah kompromi yang diterima pemerintah demi mengakhiri kekerasan separatis berdarah yang telah berlangsung selama puluhan tahun di wilayah paling barat Indonesia itu. Namun, tidak seperti Yogyakarta, tetap ada pemilihan umum di Aceh, sebagai perwujudan komitmen wilayah tersebut terhadap demokrasi.
Para pembuat kebijakan seharusnya tidak usah menggubris gagasan pembentukan daerah istimewa Surakarta. Pasalnya, hal itu akan mendorong puluhan bangsawan lain yang sekarang masih aktif, yang di masa lalu ditundukkan oleh penjajah Belanda, untuk mengikuti langkah menuntut status daerah khusus. Demikian pula, pemerintah dan DPR seharusnya menanggapi dengan hati-hati tuntutan pembentukan daerah otonom baru, karena banyak di antaranya didorong oleh keinginan beberapa elit lokal yang haus kuasa.
Sebaliknya, sudah saatnya kita menilai apakah status daerah istimewa itu telah memberi dampak yang signifikan terhadap tata kelola pemerintahan yang demokratis di Yogyakarta, atau hanya sekadar simbolis. Karena jika hanya simbolis, maka harus ada revisi atas Undang-Undang Daerah Istimewa Yogyakarta.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.