Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsPendekatan top-down saat membangun bandara raksasa di wilayah antah berantah, sambil berharap bahwa aktivitas ekonomi akan bangkit tanpa upaya strategis yang nyata, dipastikan akan gagal.
Bisakah Anda bayangkan Bandara Internasional Dallas Fort Worth di Amerika Serikat atau Bandara Gatwick di Inggris, tidak melayani satu pun penerbangan domestik? Kedua bandara yang disebutkan itu adalah yang terbesar kedua di negaranya masing-masing.
Kondisi di atas terjadi di Indonesia. Bandara Internasional Kertajati menjadi bandara terbesar kedua di negara ini, berdasarkan luasnya yang 1.800 hektar. Tetapi, bandara belum mengoperasikan rute domestik sejak 2 Juni lalu. Alasannya? Karena rendahnya permintaan, alias jumlah penumpangnya sedikit.
Untuk memahami bagaimana situasi ganjil ini bisa terjadi, kita perlu kembali ke tahun 2003 ketika gagasan tentang Kertajati masih berupa gambar.
Atas nama pemerataan pembangunan, pemerintah berusaha mengalihkan daya tarik ekonomi Jawa Barat dari Kawasan Metropolitan Bandung. Kota Bandung yang terletak tepat di jantung provinsi sudah menjadi kota yang padat penduduk.
Karena itu, muncul rencana untuk mengembangkan wilayah timur laut Jawa Barat, khususnya Kabupaten Cirebon, Indramayu, dan Majalengka, menjadi pusat ekonomi baru. Visinya adalah mengintegrasikan pelabuhan yang sudah ada di Cirebon, dengan pelabuhan baru di Patimban, serta bandara internasional di Kertajati. Bandara akhirnya dibuka pada 2018, diikuti pembukaan Pelabuhan Patimban dua tahun kemudian.
Sayangnya, Kertajati berkembang sebelum ekosistem di sekitarnya siap.
Pengembangan kawasan industri dan infrastruktur perkotaan yang dimaksudkan untuk mendukung bandara tersebut masih sangat jauh tertinggal. Dengan terbatasnya aktivitas ekonomi di wilayah tersebut, maskapai penerbangan menjadi kesulitan mempertahankan kelayakan operasional.
Bahkan penutupan Bandara Husein Sastranegara Bandung pada 2023, sebuah langkah yang bertujuan untuk mengalihkan lebih banyak lalu lintas udara ke Kertajati, hampir tidak ada pengaruhnya.
Saat ini, Kertajati hanya melayani satu rute penerbangan internasional ke Singapura, dengan jadwal dua kali seminggu. Semua layanan domestik telah ditangguhkan. Namun, bandara ini terus menguras dana pemerintah daerah hanya untuk tetap beroperasi, meskipun hampir tidak ada keuntungan yang bisa diharapkan.
Tampaknya, sejak awal, salah satu kesalahan paling mencolok adalah membangun bandara secara lengkap.
Tidak seperti Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, yang secara bertahap berkembang dari satu terminal menjadi tiga seiring meningkatnya permintaan, Kertajati merupakan pertaruhan bagi pertumbuhan di masa depan yang tidak pernah terwujud. Perencanaan yang terlalu ambisius dan prediksi permintaan yang buruk telah mengubahnya menjadi gajah putih, yaitu benda langka yang butuh banyak biaya untuk merawatnya hingga malah tak berguna. Situasi ini diperparah oleh pembangunan infrastruktur yang saling bertentangan.
Kertajati seharusnya mengurangi tekanan pada bandara-bandara Jakarta yang penuh sesak dan melayani wisatawan ke Bandung, ibu kota Jawa Barat. Untuk mendukung hal ini, pemerintah membangun Jalan Tol Cileunyi–Sumedang–Dawuan (Cisumdawu), yang memangkas waktu tempuh dari bandara ke Bandung, dari tiga jam menjadi hanya satu jam saja.
Namun, tepat ketika kombinasi bandara dan jalan mulai terbentuk, ada proyek lain yang muncul, yaitu Kereta Cepat Jakarta–Bandung, atau yang dikenal sebagai Whoosh. Rute ini menghubungkan kawasan Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur dengan Bandung, dalam waktu sekitar 40 menit tanpa macet dan tanpa repot. Dari dua pilihan ini, tidak sulit melihat rute mana yang lebih disukai penumpang.
Kini, semua sudah terjadi. Pemerintah saat ini harus memutuskan langkah selanjutnya. Pilihannya adalah terus menggelontorkan dana ke fasilitas yang kurang dapat dimanfaatkan, atau mengubah fungsi Kertajati menjadi hal lain yang lebih berguna. Bisa saja menjadikannya pusat perawatan armada penerbangan, meski mungkin perlu pengurangan besar-besaran pada jumlah terminalnya.
Dan Kertajati bukanlah satu-satunya kasus.
Bandara Internasional Dhoho di Kediri, Jawa Timur, juga telah menghentikan operasionalnya, dengan alasan ketersediaan pesawat dan masalah perawatan yang terbatas. Bandara ini dikembangkan melalui kerja sama antara pemerintah dan swasta yang dipimpin oleh raksasa tembakau PT Gudang Garam.
Bandara lain yang lokasinya di seluruh Jawa pun menghadapi tantangan serupa, misalnya Bandara Jenderal Besar Soedirman di Purbalingga dan Bandara Ngloram di Cepu, keduanya di Jawa Tengah. Bandara Wiriadinata di Tasikmalaya di Jawa Barat, serta Trunojoyo dan Notohadinegoro di Jawa Timur, juga kesulitan karena permintaan yang lesu.
Membangun infrastruktur sangat penting untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur bagus akan memangkas waktu tempuh, menurunkan biaya logistik, dan membuat masyarakat saling terkoneksi. Namun, seperti yang diketahui oleh setiap pemain gim daring SimCity, infrastruktur harus dibangun di tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, dan untuk alasan yang tepat.
Pendekatan top-down, yaitu keputusan atasan yang harus dijalankan di tingkat bawah, dengan membangun bandara besar di daerah antah berantah, sambil berharap aktivitas ekonomi akan menyusul, tanpa upaya strategis yang nyata, dalam kasus ini, jelas telah gagal.
Kinerja Kertajati yang kurang memuaskan merupakan sebuah kisah peringatan. Ia menunjukkan bagaimana pasar akan menjatuhkan hukuman pada perencanaan yang buruk, dan bagaimana visi besar tanpa eksekusi yang kuat pada akhirnya menjadi beban politik serta ekonomi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.