Semester kedua 2023 mungkin dikenang oleh banyak orang karena memperlihatkan beberapa dorongan terburuk umat manusia. Misalnya, ada kemampuan untuk bertoleransi pada perang yang tidak adil, atau bahkan mendukungnya. Atau juga keengganan untuk menyelesaikan krisis iklim.
Masyarakat Indonesia diliputi beragam kekhawatiran. Misalnya bahwa kecerdasan buatan dapat menggantikan tenaga manusia sehingga menghilangkan lapangan pekerjaan. Lalu ada kondisi kualitas udara yang buruk yang dapat membahayakan kesehatan. Kemudian ancaman krisis biaya hidup yang memperlihatkan betapa besarnya kerentanan kita. Namun, masyarakat Indonesia tampak lebih fokus pada pemikiran untuk tidak mengulangi kesalahan yang terjadi pada pemilihan umum 2019.
Masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan bersiap menyambut pemilu 2024, yang akan menjadi pemilu serentak terbesar di dunia, yang terselenggara dalam satu hari. Dan meskipun bayang-bayang politik sektarian dan polarisasi politik tampaknya mulai memudar, kekhawatiran baru mengenai politik dinasti dan penyimpangan yang dilakukan lembaga negara telah menghantui integritas pemilu mendatang.
Naditya Fitriani Hasanah, karyawan berusia 29 tahun asal Bogor, Jawa Barat, menikmati kenyataan bahwa sejauh ini, perselisihan di antara kalangan pendukung tiap kandidat pada tahun pemilu saat ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pemilu presiden 2019. Perselisihan yang ia maksud adalah yang terjadi secara daring di dunia maya, maupun yang terjadi di dunia nyata.
“Saya ingat pada 2019, ada lebih banyak narasi politik pemecah belah yang disebarkan oleh pendukung salah satu calon presiden, seperti sebutan kampret dan kecebong,” katanya kepada The Jakarta Post pada hari Jumat 29 Desember. Ia mengacu pada dua istilah yang digunakan pendukung untuk saling menghinda dalam pemilu tahun itu.
Pemilu terakhir lima tahun lalu memperlihatkan persaingan sengit antara duo musuh bebuyutan, yaitu Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Ketua Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Prabowo secara terbuka mencari dukungan dari kelompok Islam konservatif dan kelompok garis keras, serta menyuarakan kepentingan mereka.
Perselisihan antara pendukung kedua kandidat ditandai dengan permusuhan, sektarianisme, kefanatikan, dan rasisme. Saat itu, marak digunakan kata “kecebong” untuk menyebut pendukung Jokowi dan “kampret” bagi pendukung Prabowo.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.