Para pemerhati hak asasi manusia berpendapat bahwa rancangan peraturan pemerintah, yang berpotensi mengizinkan perwira militer dan polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil di lembaga-lembaga pemerintah, adalah peraturan yang bermasalah.
ebuah usulan peraturan yang memungkinkan perwira tinggi militer dan polisi untuk menduduki jabatan sipil di pemerintahan telah menuai kecaman dari kelompok-kelompok sipil. Mereka menuduh para pembuat kebijakan membiarkan kembalinya dwifungsi militer dari era Orde Baru.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) saat ini sedang mempersiapkan rancangan peraturan pemerintah (PP) baru. Peraturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang baru saja disahkan.
Undang-undang yang diumumkan November lalu ini bertujuan untuk membawa perubahan besar pada cara perekrutan dan pengelolaan pegawai negeri. Kebijakan ini juga menetapkan ketentuan-ketentuan tentang penyediaan kesejahteraan yang lebih baik bagi jutaan pegawai tidak tetap yang saat ini bekerja di kantor-kantor pemerintah. Para pegawai tidak tetap ini seringkali menerima upah yang rendah.
Namun, kebijakan ini menimbulkan reaksi keras dari kelompok-kelompok sipil. Alasannya, undang-undang tersebut memperkenalkan pasal-pasal baru yang mengizinkan perwira militer dan polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil tertentu, dengan rincian pengangkatan yang ditentukan dalam PP.
Kementerian Dalam Negeri mulai membahas poin-poin penting dari rancangan peraturan tersebut dengan Komisi II DPR, komisi yang mengawasi urusan dalam negeri, pada Rabu 13 Maret. Mereka menargetkan bahwa peraturan ini akan ditandatangani oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada 30 April.
Para pengamat mengecam peraturan tersebut karena berpotensi memfasilitasi kembalinya dwifungsi TNI. Dwifungsi TNI dapat memberikan kekuasaan politik dan wewenang kepada para perwira untuk memerintah di luar tugas utama mereka, yaitu menjaga kedaulatan nasional, menjaga integritas teritorial, serta menegakkan hukum dan ketertiban.
Al Araf, peneliti senior Imparsial, sebuah lembaga pemerhati hak asasi manusia, menyebut bahwa PP tersebut bermasalah. "Memberikan kesempatan kepada TNI dan Polri yang masih aktif untuk [menduduki jabatan sipil], menurut undang-undang adalah salah dan merusak semangat reformasi," katanya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.