TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Melawan praktik cuci uang

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, March 16, 2023

Share This Article

Change Size

Melawan praktik cuci uang The path of money laundering. (Courtesy of /International Money Laundering Information Network)
Read in English

I

nilah momentum tepat bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk meninjau sistem pengawasan internal kementeriannya sekaligus memperkuat kontrol pada seluruh jajarannya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap dugaan pencucian uang, penghindaran pajak, dan kecurangan dalam pelaporan aset yang dilakukan ratusan pejabat kementeriannya. Data menunjukkan, aset yang disembunyikan jauh lebih besar dari yang mereka laporkan secara resmi kepada KPK setiap tahun.

Terungkapnya dugaan penyelewengan, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak, menunjukkan bahwa sistem di bawah inspektorat jenderal kementerian masih belum efektif. Gerakan reformasi perpajakan yang dicanangkan Menteri Keuangan pada 2007-2010, saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, memang membawa perbaikan substansial dalam hal layanan administrasi perpajakan. Namun ternyata, reformasi perpajakan masih menyisakan banyak celah yang membuat sisi pengendalian internal dan intelijen pajak melempem.

Buktinya, selama 10 tahun terakhir, hampir semua kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat keuangan, dan sebagai besar menyangkut petugas pajak, berhasil terungkap berkat kerja KPK atau PPATK sebagai badan intelijen keuangan negara. Inspektorat Jenderal dan Direktorat Intelijen Perpajakan Kementerian Keuangan nyaris tidak berperan. Klaim Inspektorat Jenderal soal tiga lapis pertahanan yang akan melindungi kementerian terhadap penyimpangan tidak sejalan dengan kondisi lapangan. Tiga lapisan itu, yang terdiri dari kepala unit kerja, kepala departemen dan inspektorat jenderal – gagal total membangun sistem peringatan dini yang efektif terhadap kejahatan keuangan.

Skandal pajak terbaru melibatkan petugas pajak senior, Rafael Alun Trisambodo. Hasil audit investigasi mendalam berhasil membongkar fakta bahwa asetnya senilai lima hingga 10 kali lebih besar ketimbang yang ia laporkan ke KPK. Skandal besar tersebut terkuak awal bulan ini, diawali viralnya kasus penganiyaan anak di bawah umur yang dilakukan putra Rafael.

Penyelidikan lebih lanjut oleh KPK dan PPATK menemukan bahwa Rafael, istri, dan anak-anaknya memiliki beberapa perusahaan dan 40 rekening bank. Transaksi yang tercatat selama lima tahun terakhir nilai Rp500 miliar (USD33 miliar). Rafael juga kedapatan memiliki safe deposit box di Bank Mandiri yang berisi mata uang dolar Amerika senilai Rp37 miliar. Lebih jauh, investigasi mengungkap adanya 134 petugas pajak dan pasangannya yang memiliki saham di 280 beberapa perusahaan, termasuk dua perusahaan konsultan pajak, yang sudah pasti menimbulkan konflik kepentingan.

Bagaimana mungkin Inspektorat Jenderal dan Direktorat Intelijen Perpajakan selama ini abai pada sederet fakta kecurangan tersebut? Kasus Rafael pun diusut setelah beredar gelombang kehebohan di masyarakat. PPATK mengaku rutin melaporkan transaksi janggal ke inspektorat jenderal kementerian Keuangan sejak 2012. Mustahil tak ada kasus pencucian uang yang tak bisa ditindaklanjuti dari laporan tersebut. Selama ini, yang terbongkar adalah kasus korupsi. Itu pun bisa berlanjut hingga tahap persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkat kerja KPK.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Pada Selasa kemarin, Kementerian Keuangan dan Kepala PPATK menyiarkan klarifikasi terkait dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp300 triliun yang melibatkan 467 pejabat Kementerian Keuangan antra 2019 dan 2023. Sayangnya, kesimpulan klarifikasi tersebut tidak memuaskan, bahkan justru membingungkan.

Tanggung jawab PPATK adalah memantau dan mencatat transaksi keuangan yang mencurigakan yang dilakukan oleh pegawai. Membongkar kasus korupsi bukan wewenang PPATK. Jadi, PPATK sudah menjalankan tugasnya melaporkan transaksi janggal ke Kementerian Keuangan. Laporan ini yang seharusnya diinvestigasi lebih lanjut oleh Inspektorat Jenderal.

Ribuan transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan PPATK pekan lalu, dan menghebohkan publik, di sisi lain menunjukkan lemahnya penegakan hukum tentang pencucian uang tahun 2002, yang diamandemen pada 2003 dan 2010.

Masalahnya, otoritas PPATK terbatas pada memantau dan menganalisis, bukan mengusut tindak pidana pencucian uang. Yang makin mengecewakan juga kenyataan banyaknya hakim pengadilan yang tidak memahami hal pencucian uang secara mumpuni, lengkap dengan segala keruwetan transaksinya.

Undang-undang pencucian uang sebenarnya ampuh untuk mencegah dan menghalangi korupsi karena mengatur bahwa tanggung jawab pembuktian bukan menjadi tugas jaksa. Terdakwa kasus tindak pidana pencucian uang wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya diperoleh secara sah. UU pencucian uang juga menetapkan bahwa kasus pencucian uang tidak harus membongkar kejahatan terkait sumber uangnya terlebih dulu.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.