TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Tentang Oscar dan ASEAN

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Sat, March 18, 2023

Share This Article

Change Size

Tentang Oscar dan ASEAN Michelle Yeoh accepts the Oscar for Best Actress for 'Everything Everywhere All at Once' during the Oscars show at the 95th Academy Awards in Hollywood, Los Angeles, California, the United States, on March 12, 2023. (Reuters/Carlos Barria)
Read in English

K

emenangan aktris Malaysia berusia 60 tahun Michelle Yeoh dan aktor Vietnam-Amerika Ke Huy Quan, 51, dalam ajang Academy of Motion Picture Arts and Sciences tahun ini juga harusnya menjadi kemenangan bagi Asia Tenggara. Namun ternyata tidak. Di era saat representasi budaya populer bergeser dari ciri khas Kaukasia, dan semakin inklusif, masih tetap saja seseorang terlalu mudah tergelincir ke pelabelan dari sisi fisik, semacam “orang kulit hitam” atau “orang Asia”.

Akan sangat mudah bagi masyarakat Asia untuk ikut-ikut merasa bangga, sebagaimana warga Malaysia, dengan hanya menonton rekaman tentang ibunda Michelle yang merayakan kemenangan putrinya dalam acara nonton bareng di Kuala Lumpur. Michelle yang kemudian mendapat julukan manis sebagai Ratu Asia Tenggara, menapaki tangga karier akting di dunia film laga Hong Kong, dan bukan dari sinema Malaysia. Adalah film James Bond, Tomorrow Never Dies pada tahun 1997, yang menariknya masuk Hollywood.

Sementara bagi Quan, Hollywood juga sering tidak adil padanya terkait asal-usulnya yang dari Vietnam. Orang-orang juga masih sering keseleo lidah saat mengeja namanya. Setelah sempat menjalani hari-hari dianggap sebagai manusia kapal dari pengungsian di Hong Kong, Quan mendapat peran sebagai Short Round di film Indiana Jones and the Temple of Doom. Kemudian dia main juga di The Goonies, sebagai Data dari keluarga Wang. Dua peran itu membuat keluarganya percaya diri mengejar mimpi tinggal di Amerika. Kembalinya Quan ke dunia akting dua decade silam, setelah sempat menyerah karena peran untuk aktor Asia sangat terbatas, sering dianggap sebagai impian terbesar setiap orang. Karena itulah ia sering disebut sebagai the comeback kid.

Dari dua contoh tersebut, terlihat bahwa perayaan pada kemenangan Michelle dan Quan adalah perayaan pada kesuksesan dua orang Asia menembus Amerika, dalam konteksnya sebagai negara tidak sempurna. Toh hal tersebut tidak menghambat sorak sorai kebanggaan dan kegembiraan seluruh dunia melihat keduanya memenangi penghargaan tertinggi dalam budaya pop tersebut.

Pidato Michelle saat menerima piala Oscar bermakna sangat dalam, terutama ketika ia menyebutkan "anak laki-laki dan perempuan kecil yang seperti saya". Tak perlu mencari kesamaan apa yang dia maksud, apakah darah Hokkien, Kanton, atau Malaysia. Bagaimana pun, di luar kotak-kotak yang ada di Asia, seluruh warga Asia Tenggara merasa sama dengannya.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Sayang sekali bahwa di kawasan ASEAN, dalam hal ini menyebut negara-negara di wilayah, atau jika mau lebih serius bisa menyebut kubu negara secara politik, dalam 55 tahun terakhir masih belum ada kebanggaan Asia Tenggara yang bisa diakui sebagai milik bersama, seperti yang dirasakan Michelle dan Quan pada kurun waktu kurang dari dua tahun terakhir. Faktanya, masalah budaya dan identitas masih menjadi topik yang dianggap kurang penting di ASEAN.

Pernyataan ini terbukti dari pemliihan slogan yang diusung Indonesia setelah ditunjuk sebagai Ketua untuk ASEAN 2023. Motto ASEAN Matters: Epicentrum of Growth hanya membahas aspek politik dan ekonomi dari tiga pilar utama kerja sama masyarakat ASEAN. Pilar ketiga adalah sosial budaya.

Di satu sisi, ASEAN Matters menjadi slogan yang diperjuangkan oleh Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, sementara para pemimpin industri merasa perlu jargon yang lebih dekat dengan peran mereka. Hasilnya, ditambahkan kata “Epicentrum of Growth”. Sekali lagi, tidak ada sama sekali aspek sosiokultural, meski Kementerian Luar Negeri mungkin berargumen bahwa “ASEAN Matters” adalah istilah umum yang bisa mencakup semua pilar.

Bukan rahasia lagi bahwa pilar sosial budaya menjadi salah satu yang paling diabaikan dalam lingkup masyarakat ekonomi ASEAN. Bahkan para jurnalis masing-masing negara anggota mungkin kesulitan memahami apa saja yang sesungguhnya dilakukan para pejabat terkait pilar tersebut.

Yang terjadi adalah, warga negara ASEAN dibiarkan berjalan sendiri-sendiri untuk menjalin ikatan sosiokultural di antara mereka. Yang mengerjakan The ASEAN Literary Festival dan The ASEAN Music Showcase sebagian besar adalah anggota komunitas akar rumput. Bisa jadi ada yang berpikir mengapa Festival Film ASEAN, yang merupakan kegiatan kolaborasi beberapa negara, tidak terlalu terdengar gaungnya, padahal ada momentum yang bisa dimanfaatkan dunia sinema Asia Tenggara melalui streaming platform global.

Kita paham bahwa semangat ASEAN masih setara menara gading. Bagaimana pun, pilar sosial budaya tetap penting. Dengan keragaman budaya yang kita punya, bagaimana bisa para pemimpin ASEAN beranggapan masing-masing akan bisa berjalan sendiri tanpa dukungan pemerintah? Jika tidak ada campur tangan pemerintah, apakah ASEAN benar-benar penting bagi orang Asia Tenggara? Setidaknya, mereka bisa membuat kehebohan untuk ikut merayakan keberhasilan rekan mereka yang membawa pulang piala Oscar.

 

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.