Adalah sebuah usaha yang sia-sia dan hanya akan membuang-buang sumber daya jika pemerintah Indonesia melanjutkan upaya menolak UU deforestasi Uni Eropa. Undang-undang ini diadopsi sejak 2019. Landasannya adalah keprihatinan global atas berkurangnya hutan yang dianggap sebagai salah satu penyebab utama emisi karbon.
Definisi deforestasi dalam undang-undang deforestasi Uni Eropa sejalan dengan definisi Food and Agriculture Organization (FAO atau Organisasi Pangan dan Pertanian), yaitu perubahan fungsi hutan menjadi lahan yang digunakan untuk pertanian, baik dengan atau tanpa peran manusia. Sedangkan degradasi hutan didefinisikan sebagai perubahan struktur tutupan hutan, berupa perubahan tanaman di hutan primer menjadi hutan buatan yang sengaja ditanami sesutau, atau hutan dengan pohon untuk produksi kayu yang dikelola manusia.
Undang-undang bebas deforestasi, sebagai yang pertama di dunia, memang akan menimbulkan tantangan yang lebih berat bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang memiliki sumber daya alam berupa hutan yang luas tetapi juga masih dibebani masalah tingkat kemiskinan yang tinggi. Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia sekaligus produsen utama karet, kayu, dan kakao. Namun, secara tegas menentang undang-undang tersebut hanya akan membuat pemerintah RI kehilangan kesempatan meningkatkan manajemen tata kelola serta keberlangsungan hutan, yang saat ini terbuka berkat diberlakukannya undang-undang deforestasi.
Pertama, mari bahas dari sisi tantangan. Delapan komoditas pertanian dan turunannya, yaitu kelapa sawit, daging sapi, kakao, kopi, kedelai, kayu, karet, arang, dan kertas cetak, hanya akan diizinkan masuk ke pasar Uni Eropa jika pemasok produk berhasil mengeluarkan “pernyataan lolos uji tuntas”. Pernyataan tersebut mengkonfirmasikan asal-usul produk, yang tidak boleh dari lahan hasil pembukaan hutan. Pemasok atau importir juga harus memverifikasi bahwa produk sudah mematuhi undang-undang yang relevan di negara asalnya, termasuk sudah menghormati hak asasi manusia, dan menjaga hak-hak masyarakat adat yang terkena dampak produksi barang tersebut, jika ada dampaknya.
Tetapi undang-undang hanya diterapkan untuk deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi setelah 31 Desember 2020. Setelahnya, baru diwajibkan pelaksanaan uji tuntas, yaitu dalam waktu 18 bulan untuk perusahaan dan 24 bulan untuk usaha skala kecil, usaha skala mikro, dan bagi petani kecil.
Bagaimana dengan peluang yang ada? Indonesia harus secara agresif melibatkan Uni Eropa dalam negosiasi yang bersifat membangun, terkait pemanfaatan program Kemitraan Hutan yang telah dibentuk oleh tim Komisi Uni Eropa. Program Kemitraan Hutan diselenggarakan untuk membantu negara-negara mitra memperkuat tata kelola hutan mereka dan menciptakan peluang sosial-ekonomi bagi penduduk melalui rantai nilai yang berkelanjutan. Komisi Uni Eropa telah menjanjikan 1 miliar euro (1,1 miliar dolar Amerika) untuk memfasilitasi perlindungan, restorasi, dan pengelolaan hutan secara berkelanjutan di negara-negara mitra. Bagusnya, program kerja sama ini akan dirancang sesuai kebutuhan masing-masing negara mitra.
Keterlibatan aktif yang bersifat konstruktif dengan Uni Eropa menjadi krusial, terutama selama masa transisi sebelum undang-undang tersebut diberlakukan sepenuhnya. Kita perlu paham rincian teknis tentang Arahan Uji Tuntas Korporat yang jadi bagian undang-undang bebas deforestasi. Rincian teknis tersebut akan menentukan seberapa rumit birokrasi penilaian yang harus dilakukan dalam proses uji tuntas.
Konsultasi dengan Komisi Uni Eropa sangat penting karena Komisi tersebut yang akan menggunakan sistem pembanding yang ditetapkan secara sepihak untuk mengklasifikasi negara, atau bagian dari negara tersebut, dalam kategori berisiko rendah, berisiko standar, atau punya risiko tinggi. Kategorisasi ini diperoleh berdasarkan penilaian yang objektif dan transparan. Produk dari negara berisiko rendah akan melalui prosedur uji tuntas yang disederhanakan. Operator akan melakukan pemeriksaan secara proporsional menurut tingkat risiko negara asal barang, yaitu 9 persen untuk negara berisiko tinggi, 3 persen untuk negara yang masuk kategori risiko standar, dan 1 persen untuk negara berisiko rendah.
Kita harus mengakui dengan besar hati bahwa meskipun pengelolaan hutan kita telah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi di masa lalu, tapi pertumbuhan perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat telah membuat masyarakat internasional beraggapan bahwa terjadi deforestasi yang luar biasa di Indonesia. Karena itu, negara kita rentan masuk kategori negara berisiko tinggi.
Secara sepihak, undang-undang deforestasi juga akan memberlakukan kewajiban pelacakan asal usul sebuah barang dengan menggunakan teknologi identifikasi geolokasi, yang akan menginformasikan lokasi tempat produk ditanam. Hal ini dapat dinegosiasikan dalam program kemitraan, dengan mendiskusikan cara tepat membantu petani kecil menggunakan ponsel pintar dan memberi geotag, atau informasi posisi data, pada lahan pertanian mereka. Program ini dapat membantu petani kecil di Indonesia menjadi lebih kuat secara organisasi, selain membangun kerja sama sekaligus meningkatkan keterampilan mereka. Pemberdayaan bisa diperoleh melalui pelatihan yang tentu mereka butuhkan. Misalnya pelatihan mengelola data agar bisa ditelusuri sumbernya. Bagaimana pun, akan sangat banyak data yang harus dikumpulkan agar bisa lolos proses uji tuntas.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.