ara pemimpin negara-negara anggota ASEAN sedang berkumpul di kawasan wisata Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur untuk KTT ke-42, saat Pesta Olahraga Asia Tenggara (SEA Games) ke-32 di Phnom Penh berlangsung hingga minggu ini. Namun, perkembangan di bidang olah raga, khususnya untuk tampil di SEA Games dua tahunan, tampak tidak terlalu menarik perhatian para pemimpin negara, meskipun olahraga telah terbukti berkontribusi bagi upaya kawasan dalam membangun sektor sosial budaya.
SEA Games baru jadi pembicaraan, meski tidak secara khusus, ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen mengadakan pembicaraan bilateral di sela-sela KTT. Hun Sen, yang negaranya mendapat giliran menjadi tuan rumah SEA Games, meminta maaf kepada Jokowi atas insiden bendera yang menodai upacara pembukaan pesta olahraga pada 5 Mei. Dalam pertunjukan musik sesaat sebelum upacara pembukaan, bendera Indonesia dikibarkan terbalik oleh para penari.
Setelah kompetisi berjalan seminggu, perebutan medali semakin intensif dan semakin banyak rekor yang dipecahkan, terutama di cabang olah raga renang. Hingga Jumat kemarin, Vietnam memimpin perolehan medali, meninggalkan tuan rumah Kamboja dan Thailand mengikuti dengan ketat di belakangnya. Masih banyak lagi medali yang dipertaruhkan hingga kejuaraan berakhir pada Rabu.
Indonesia, negara terpadat dengan ekonomi terbesar di ASEAN, tidak menetapkan target ambisius untuk menjadi pemenang SEA Games di luar Indonesia. Jika berhasil, ini kali pertama sejak 1993. Saat menerima tim nasional SEA Games pada 2 Mei, Presiden Jokowi mengatakan sudah cukup puas bila Indonesia bisa berada di posisi kedua dalam perolehan medali.
Permintaan Jokowi, bagaimanapun, adalah perintah. Dalam SEA Games sebelum ini, kecuali ketika menjadi tuan rumah, Indonesia biasanya menempati peringkat ketiga, keempat, dan bahkan kelima di antara 11 negara peserta. Pada Asian Games 2021 di Hanoi, Indonesia berada di urutan ketiga di belakang Vietnam dan Thailand.
Prestasi SEA Games tak diperhitungkan banyak kalangan, mengingat pesta olahraga regional tersebut kini cenderung sekadar menjadi media untuk mendongkrak kebanggaan nasional negara tuan rumah. Vietnam, Filipina, dan Malaysia memenangkan SEA Games masing-masing dua kali di kandang sendiri, sedangkan Thailand dan Indonesia adalah satu-satunya negara yang pernah unggul meski sebagai tim tamu dalam acara tersebut.
Negara tuan rumah SEA Games diberi hak istimewa untuk memilih olahraga yang mereka kuasai, hingga memungkinkannya memenangkan medali sebanyak mungkin. Mereka juga boleh mencoret olahraga tertentu yang kurang mereka kuasai. Mungkin “cara ASEAN” ini adalah resep agar kompetisi tetap berlanjut hingga saat ini. Selama puluhan tahun, secara konsisten acara ini diselenggarakan tiap dua tahun, kecuali acara tahun 2021 yang sempat tertunda setahun karena pandemi COVID-19.
Kamboja memanfaatkan posisi sebagai tuan rumah SEA Games 2023 dengan memilih seni bela diri tradisional kun bukator dan kun khmer sebagai salah satu cabang olah raga yang dipertandingkan. Pada tahun ini juga, Kamboja memenangkan medali emas pertamanya dalam pencak silat, seni bela diri Indonesia, menyusul kesepakatan dengan Indonesia.
Non Sromoachkhoram mempersembahkan medali emas bersejarah bagi Kamboja, tanpa perlawanan, setelah lawannya dari Indonesia, Bayu Lesmana, menyerah dalam pertarungan terakhir di kategori U-45 pada Rabu. Ketua tim pencak silat Indonesia Indro Catur mengatakan telah dibuat kesepakatan antara Kamboja, Indonesia, Malaysia, dan Singapura untuk menyerahkan medali emas kepada tuan rumah sebagai apresiasi atas persetujuan Kamboja memasukkan pencak silat dalam cabang olahraga yang dipertandingkan.
Bisa saja banyak yang akan menganggap kesepakatan semacam itu melanggar kredo Olimpiade, yaitu lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat. Namun, bagi negara-negara Asia Tenggara, SEA Games telah lama berperan sebagai pemersatu. Myanmar tidak diperbolehkan ikut KTT ASEAN setelah terjadi perebutan kekuasaan oleh militer, tetapi tetap diterima mengikuti SEA Games. Bisa dilihat bahwa badan sepak bola dunia FIFA melarang Rusia ikut Piala Dunia tahun lalu karena invasi ke Ukraina, sebagai perbandingan.
Namun, negara-negara di kawasan Asia Tenggara harus memikirkan sebuah dobrakan untuk membawa SEA Games ke level yang lebih tinggi. Harus ada batu loncatan yang ideal bagi para atletnya untuk bersinar di Asian Games dan Olimpiade, dan bukan sekadar bertanding di forum solidaritas seperti sekarang.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.