inggu ini, saat tepat bagi Indonesia memanfaatkan kepemimpinannya di ASEAN. Begitu banyak tantangan dan masalah yang belum terselesaikan, semua penting dan harus diperhatikan oleh perhimpunan.
Jakarta akan menjadi tuan rumah bagi negara-negara Asia Tenggara dan mitra dialognya selama empat hari ke depan, dalam acara Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN (ASEAN Ministers’ Meeting atau AMM) dan forum terkait lainnya yang berorientasi pada urusan kerja sama luar wilayah.
Berbeda dengan dua AMM sebelumnya di bulan Februari dan April, agenda pertemuan kali ini akan membuka asosiasi 10 negara tersebut pada kritik internasional sekaligus menguji tekad bersama para negara anggota. ASEAN saat ini dirundung beragam masalah dan semuanya akan didiskusikan secara maraton.
Salah satu fokus adalah krisis kudeta di Myanmar yang menguji kredibilitas ASEAN. Kemudian juga perdebatan terkait penggunaan tenaga nuklir yang bertanggung jawab atau kesucian sebuah aturan bersama yang sudah disepakati. Belum lagi masalah adu kekuatan di Indo-Pasifik yang bisa berujung kompetisi senjata di masa depan. Masalah bagai datang bertubi-tubi dan semua perlu ditangani segera, hal yang mungkin tidak pernah terjadi sebelumnya di kawasan.
ASEAN yang berorientasi ekonomi sering menutup mata, atau menghalalkan berbagai cara, saat berhadapan dengan topik-topik sensitif. Namun, perhimpunan ini perlahan-lahan paham bahwa sebuah masalah akan menimbulkan perkara baru jika dibiarkan begitu saja.
Terkait isu Myanmar, ASEAN berada di bawah tekanan untuk bertindak tegas melawan tirani junta. Junta militer Myanmar telah menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan dan kekerasan setelah kudeta 1 Februari 2021.
Pemberontakan yang terjadi di Myanmar membagi ASEAN jadi dua kelompok. Ada satu kelompok yang percaya insiden itu akan menyebabkan ketidakstabilan regional, sementara kelompok lain menganggap kudeta adalah masalah internal suatu negara yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain.
Analis memandang pembiaran yang dilakukan ASEAN terhadap kudeta di Thailand pada 2014 silam, juga berbagai intrik politik yang berujung pemimpin kudeta Prayut Chan-o-cha didapuk menjadi perdana menteri, akan menjadi preseden yang bisa diikuti anggota ASEAN lainnya. Militer Myanmar terbukti betul mengikuti langkah kudeta Thailand.
Begitu banyaknya bentuk pemerintahan di Asia Tenggara, beberapa prinsip-prinsip dasar demokrasi, misalnya penghormatan terhadap hak asasi manusia, terus-menerus mendapat tantangan. Otokrasi tidak bisa diminta bertanggung jawab atas kekejaman masa lalu, dan hadirnya pemimpin yang mementingkan diri sendiri sering terjadi.
Jadi, meskipun perhimpungan telah berhasil menghasilkan Piagam ASEAN yang tergolong berpikiran maju untuk ukuran produk tahun 2008, beberapa prinsip yang tercantum di dalamnya masih menjadi sasaran kritik.
Tidak mengherankan, terjadi erosi norma-norma ASEAN, juga makin melemahnya tatanan yang berbasis aturan. Jika para negara anggota ASEAN tidak mematuhi aturan mereka sendiri, mengapa mau mengatur para mitra dialog perhimpunan?
Hal tersebut sayangnya memotivasi upaya yang disuarakan Indonesia untuk memperkuat aturan dan norma ASEAN, seperti Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama (Treaty of Amity and Cooperation atau TAC) dan perjanjian Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (Southeast Asia Nuclear Weapons-Free Zone treaty atau SEANWFZ).
Pertanyaan tentang penggunaan tenaga nuklir yang bertanggung jawab dengan segala kerumitannya tersirat dalam perkembangan terkini di kawasan Indo-Pasifik: ketika kekuatan Barat dan sekutunya mengkritik pengembangan program senjata nuklir Korea Utara, di sisi lain ada China dan beberapa negara lainnya yang prihatin atas rencana Jepang membuang air yang telah terkontaminasi limbah nuklir ke laut, begitu pula ada kekhawatiran Indonesia atas pengadaan kapal selam bertenaga nuklir yang dilakukan Australia.
Tidak heran jika ketua ASEAN akan berusaha semampunya untuk membujuk negara-negara pemilik senjata nuklir untuk menyetujui perjanjian SEANWFZ.
Unjuk kekuatan senjata yang sekarang terjadi, dibuktikan oleh lonjakan pengeluaran dana pertahanan secara keseluruhan, juga bukan pertanda baik bagi TAC, yang mengedepankan perdamaian dan harus disetujui oleh setiap mitra dialog sebagai prasyarat agar bisa bekerjasama dengan ASEAN.
Laut China Selatan semakin diperebutkan menggunakan kekuatan militer, namun upaya ASEAN-China untuk menyepakati satu kode etik di perairan yang disengketakan tetap sulit disepakati. Sementara itu di wilayah Pasifik Selatan, terjadi persiapan "perang" pengaruh antara Beijing melawan Amerika Serikat.
Untuk Timor-Leste, siapa yang bisa membayangkan betapa sulitnya ujian yang mesti dilalui negara itu agar bisa menjadi negara anggota ke-11 ASEAN. Selain perlu mengejar ketertinggalan kapasitas kelembagaan agar dapat berkontribusi dalam pertemuan-pertemuan, Dili harus segera menegakkan sikapnya dan memutuskan pendiriannya sendiri dalam menghadapi berbagai banyak masalah.
Sebetulnya, akan sangat baik jika Timor-Leste bisa mencontoh “kakaknya” yaitu Indonesia. Namun, contoh baik hanya bisa diperoleh jika Jakarta mampu sukses menunjukkan kekuatannya minggu ini.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.