TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

WTO, kembalilah!

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, July 25, 2023

Share This Article

Change Size

WTO, kembalilah! A man walks past the World Trade Organization headquarters during the 12th WTO Ministerial Conference in Geneva on June 15, 2022. (AFP/Fabrice Coffrini)
Read in English

K

eputusan Indonesia pada Desember 2022 untuk mengajukan banding atas keputusan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization atau WTO) terhadap larangan ekspor nikelnya membuat bingung Brussel. Mengapa baru sekarang, setelah lebih dari setengah tahun sejak permintaan peninjauan kembali diajukan ke Badan Banding WTO?

Akhir tahun lalu, ada tanda-tanda kasus ini akan ditutup. Hingga WTO membuat pengumuman resmi berikutnya tentang masalah tersebut.

Namun, perselisihan tampaknya dapat berkobar lebih awal. Pasalnya, Uni Eropa terlihat tak ingin menunggu proses penyelesaian yang waktunya seolah tidak terbatas.

Ada sebuah catatan di situs web WTO yang secara gamblang menyebut bahwa resolusi belum akan terjadi dalam waktu dekat. “Mengingat terus berlanjutnya ketidaksepakatan di antara anggota WTO tentang pemenuhan kekosongan sumber daya di Badan Banding, saat ini tidak ada Divisi Badan Banding yang bertugas untuk menangani masalah banding.”

Setidaknya diperlukan tiga hakim agar Badan Banding berfungsi. Namun, selama bertahun-tahun Amerika Serikat memblokir penunjukan hakim baru untuk menggantikan para hakim yang pensiun atau berhenti. Akibatnya, seluruh proses penyelesaian perselisihan menjadi berantakan.

Apakah itu berarti UE dapat mengambil tindakan sendiri? Tidak. Tapi itulah yang dilakukan UE yang mengancam Indonesia dengan “tindakan balasan.” Dan tindakan itu “pada tahap ini telah mengidentifikasi produk-produk baja dan baja tahan karat.” Demikian menurut pengumuman Komisi UE tentang proses konsultasi.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Risiko yang nyata adalah tindakan saling balas yang mengarah ke perselisihan antara UE dan Indonesia. Dampaknya bisa lebih besar ketimbang kasus awal.

Dalam hal ini, UE mungkin frustrasi dengan proses WTO yang macet. Tapi, Jakarta juga bermain sesuai aturan, mengajukan banding yang jadi haknya. Masalah Badan Banding bukan salah Indonesia.

UE tidak dapat menerobos proses WTO hanya karena ada masalah dengan penegakan aturan WTO. Prinsip-prinsip WTO masih berlaku. Memang, mengabaikan prinsip-prinsip itu sepertinya sesuai tren terkini. Beberapa negara mulai memperlakukan transaksi perdagangan antarnegara sebagai masalah keamanan nasional dan bukan lagi kerja sama internasional.

Buktinya, baru-baru ini ada larangan atas impor. Kemudian ada larangan juga pada penggunaan produk dari TikTok, Huawei, Micron, dan lainnya. Semua larangan dibenarkan dengan alasan keamanan nasional tanpa bukti yang meyakinkan semacam kontrol ekspor microchip atau informasi bahan yang digunakan dalam produksi.

Semua tindakan itu sesungguhnya bertentangan dengan prinsip-prinsip WTO. Argumen keamanan nasional yang diajukan biasanya hanya dalih yang digunakan pemerintah suatu negara untuk mendapatkan atau mempertahankan keunggulan kompetitif atau keuntungan strategis.

Hal yang sama berlaku untuk sanksi perdagangan sepihak yang dikenakan oleh beberapa negara pada negara lain. Dampak sanksi bahkan kadang mempengaruhi pihak ketiga, baik negara atau perusahaan, yang punya hubungan dagang dengan pihak yang terkena sanksi perdagangan.

UE termasuk yang memberlakukan larangan dan sanksi perdagangan. Jadi, sungguh tidak pada tempatnya jika UE membicarakan prinsip-prinsip perdagangan bebas, tidak peduli seberapa proteksionis larangan ekspor nikel yang dilakukan Indonesia.

Yang semakin nyata adalah fakta bahwa semua negara peduli pada perdagangan yang adil hanya jika yang disebut adil itu memenuhi kepentingan mereka. Mereka keberatan jika perdagangan adil tersebut ternyata bertentangan dengan yang mereka butuhkan. Perdagangan bebas adalah masalah aksi kolektif, dan untuk menyelesaikan masalah itulah WTO diselenggarakan.

Karena itu, proses WTO harus dihormati, tidak peduli apakah UE suka atau tidak. Alih-alih menekan Indonesia, yang bertindak sejalan dengan proses WTO, Brussel mungkin lebih baik diskusi dengan AS, yang sejak pemerintahan Barack Obama menghambat kelancaran proses WTO.

AS telah menuntut reformasi WTO, dan begitu diskusinya dimulai, Jakarta harus angkat bicara. Jakarta harus maju bersama negara-negara berkembang lainnya, untuk memastikan setiap kerangka kerja WTO di masa depan menghormati keinginan sah mereka dalam membangun industri hilir. Termasuk jika hilirisasi berarti membatasi ekspor komoditas mentah.

Semakin WTO dikesampingkan, semakin banyak negara akan beralih ke blok perdagangan regional, yang selanjutnya akan memecah belah perdagangan global. Kita butuh WTO. Bahkan butuh tindakannya lebih dalam, ketimbang sebelumnya.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.