aporan produk domestik bruto (PDB) Indonesia terbaru, yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Senin lalu, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi negara lebih kuat dari yang diperkirakan banyak orang.
Nasib Indonesia memang lebih baik, jika dibandingkan dengan kebanyakan negara lain, selama gejolak ekonomi global tahun lalu. KInerja ekonomi yang baik tersebut sebagian besar merupakan hasil dari harga komoditas ekspor Indonesia yang sangat tinggi.
Harga batu bara, misalnya, melonjak di awal tahun 2022 dan tetap tinggi sebelum jatuh kembali di akhir tahun. Harga minyak sawit mentah juga melonjak tahun lalu.
Kita boleh merasa sangat beruntung atas kemujuran tersebut. Tapi sebaiknya kita menahan diri dan tidak merayarakan secara berlebihan, karena kita tahu bahwa pasar yang begitu menguntungkan tidak akan awet.
Tentu saja, hampir semua orang berasumsi bahwa pertumbuhan PDB kita yang kuat akan terbukti tidak berkelanjutan begitu harga komoditas di pasaran global kembali turun, atau “dinormalisasi” jika mengutip para ekonom Indonesia.
Namun, harga telah normal sekarang. Sedangkan PDB kita tetap bertahan di atas 5 persen. Dan hal itu telah terjadi selama tujuh kuartal berturut-turut.
Data BPS menunjukkan bahwa angka ekspor turun, hingga mempengaruhi angka pertumbuhan PDB, meskipun secara marjinal. Beberapa triwulan sebelumnya, pertumbuhan kita memang sangat didukung ekspor.
Ternyata ekspor bersih hanya menyumbang 2 poin persentase dari pertumbuhan PDB Indonesia, yaitu sebesar 5,04 persen pada kuartal pertama tahun ini. Kontribusi tersebut benar-benar hilang pada kuartal kedua. Namun, pertumbuhan PDB secara keseluruhan tidak menurun bahkan meningkat menjadi 5,17 persen.
Kesimpulannya, sungguh melegakan, ekonomi kita tampaknya tidak bergantung pada ekspor. Buktinya, ekonomi kita tetap tangguh di tengah lingkungan eksternal yang memburuk. Hal itu di luar perkiraan banyak orang.
Apakah ekonomi Indonesia akan sekuat itu terus, menjadi soal lain. Bagaimana pun, sebagian dari peningkatan pengeluaran domestik yang mensubtitusi penurunan ekspor bersifat sementara. Yang termasuk dalam jenis ini, misalnya, pengeluaran oleh partai politik, serikat pekerja, organisasi sosial dan budaya, serta LSM menjelang pemilu tahun depan. Pengeluaran tersebut melonjak hampir 9 persen (yoy) di kuartal kedua.
Data BPS juga mengungkapkan pengeluaran pemerintah naik hampir 11 persen (yoy) pada kuartal kedua.
Di Indonesia, periode menjelang pemilihan umum cenderung meningkatkan belanja domestik, baik yang dilakukan oleh organisasi maupun konsumen, dengan dampak nyata pada pertumbuhan ekonomi. Seusai pemilu, perekonomian Indonesia tidak lagi dapat mengandalkan pengeluaran tambahan ini sebagai sumber pertumbuhan.
Di sisi lain, pengeluaran perusahaan seringkali melambat menjelang pemilu. Alasannya karena para pembuat keputusan di sektor swasta akan menahan investasi modal yang besar. Mereka menunggu hasil pemilu untuk mendapat kejelasan tentang arah masa depan negara.
Sangat masuk akal, misalnya, akan bermunculan lebih banyak investor untuk ibu kota negara yang baru, begitu pemerintah Indonesia yang berikutnya menunjukkan komitmen besar dalam memajukan megaproyek tersebut.
Dengan data di atas, efek pemilu yang akan datang pada PDB keseluruhan sulit diprediksi. Namun kita tetap senang melihat angka pertumbuhan. Banyak tanda yang menunjukkan ketahanan.
Sekitar bulan yang sama di tahun lalu, ekonomi Indonesia juga terbukti tetap tangguh di tengah perkembangan ekonomi global, lebih kuat ketimbang yang diantisipasi banyak orang. Ketika bank-bank sentral di seluruh dunia, dipimpin oleh Federal Reserve Amerika Serikat, memulai jalur pengetatan kuantitatif untuk melawan inflasi, ada kekhawatiran bahwa penarikan modal dari negara-negara berkembang akan memberi tekanan besar pada rupiah.
Pada akhirnya, kita seharusnya tak perlu terlalu khawatir
Investor di Indonesia tampaknya saat ini lebih punya sikap, jika dibandingkan dengan kondisi satu dekade lalu. Saat itu, terjadi yang disebut taper tantrum, yaitu gejolak ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan keuangan Amerika. Karena investor kita lebih tegas, rupiah bertahan lebih baik ketimbang banyak mata uang negara berkembang lainnya, bahkan lebih baik daripada kondisi tahun 2013. Saat itu, rupiah sempat merosot dari sekitar Rp9.700 per dolar AS menjadi Rp12.200.
Semua hal tersebut membuktikan satu hal: bahwa kepercayaan investor terhadap prospek jangka panjang Indonesia dan Asia Tenggara mengalahkan kekhawatiran tentang valuasi aset jangka pendek.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.