TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Bukan sekadar persaingan kakak-adik

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, August 14, 2023

Share This Article

Change Size

Bukan sekadar persaingan kakak-adik The destroyed Ciracas Police station in East Jakarta after being attacked by an angry mob on Dec. 12, 2018. (tribunjakarta.com/Dionisius Arya Bima Suci)
Read in English

P

ekan lalu, markas Polrestabes Medan, Sumatera Utara dikepung oleh sekitar 40 prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kejadian tersebut bukan hanya menunjukkan berlarut-larutnya persaingan antara kedua kekuatan, sejak mereka dipisah pada 1998, tetapi juga memperlihatkan penghinaan oknum TNI terhadap sistem peradilan pidana.

Terkait peristiwa 4 Agustus itu, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memerintahkan Polisi Militer mengusut tuntas Mayjen Dedi Hasibuan dan pasukannya dari Kodam Bukit Barisan. Dedi memimpin tentara berseragam militer mengepung kantor polisi untuk menuntut pembebasan tersangka kasus pemalsuan sertifikat tanah. Dedi adalah paman sekaligus pengacara tersangka.

Tidak ada pertumpahan darah, dan tidak ada yang terluka selama pengepungan. Namun, kasus tersebut menunjukkan bahwa konflik puluhan tahun antara polisi dan militer, setidaknya yang selama ini ditutupi, tetap tidak terselesaikan tuntas. Kesepakatan damai dan kegiatan bersama setelah bentrokan antara kedua institusi hanyalah solusi di permukaan.

Pada Mei lalu, sekelompok tentara menyerang tiga pos polisi di Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur. Penyerangan terjadi setelah ada adu mulut saat keduanya mengadakan pertandingan futsal. Setidaknya, serangan itu mengakibatkan empat petugas polisi terluka dan beberapa kendaraan dibakar.

Sebelumnya, di bulan April, puluhan orang tak dikenal yang diduga anggota TNI menggeledah Polsek Janeponto, Sulawesi Selatan. Penggeledahan menyusul penyerangan sejumlah anggota polisi terhadap seorang tentara. Satu polisi terkena luka tembak dalam kejadian itu.

Di akhir 2018, puluhan tentara membakar dua kendaraan di Polsek Ciracas di Jakarta Timur dan merusak toko-toko di sekitarnya. Gara-garanya, seorang prajurit Angkatan Darat yang terluka dalam kecelakaan mobil memberi tahu teman-temannya bahwa luka-lukanya adalah akibat serangan sekelompok orang yang diduga anggota Polsek Ciracas.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Lebih jauh, insiden di kantor Polrestabes Medan bukanlah dugaan pertama terjadinya penghadangan yang melibatkan personel Kodam Bukit Barisan. Pada September 2002, puluhan tentara dari Kodam menggerebek sebuah kantor polisi di Binjai, Sumatera Utara. Saat itu, pemicu perkara adalah adanya polisi yang menolak permintaan seorang tentara untuk membebaskan temannya, warga sipil, yang ditangkap karena dugaan memiliki narkoba. Baku tembak pun terjadi, menewaskan 10 orang, termasuk enam petugas polisi dan seorang prajurit militer.

Dari tahun 2020 hingga 2022 saja, polisi telah mencatat adanya 28 konflik antara TNI dan personel polisi. Sementara data kelompok HAM Kontras mengungkap adanya 19 kasus selama dua tahun terakhir. Melihat frekuensinya, bisa diasumsikan bahwa kedua kekuatan akan terus berjibaku, kecuali negara dapat menemukan dan menyelesaikan akar penyebab permusuhan.

Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah reformasi yang belum selesai di tubuh militer dan kepolisian. Kita sering mendengar TNI dan akademisi menyerukan reformasi yang akan menempatkan kepolisian di bawah pengawasan menteri dalam negeri, sebagaimana militer berada di bawah pengawasan menteri pertahanan. Karena kekuatan polisi yang meningkat, banyak ungkapan sinis memelesetkan NKRI sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia bukan lagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tapi, kedua pihak tidak sepenuhnya menanggung akibat dari reformasi yang belum selesai. Justru para elit politik dengan sengaja menyeret mereka ke dalam arus pergulatan politik. Buktinya, pos-pos strategis di kementerian dan lembaga pemerintah diberikan kepada jenderal-jenderal polisi dan militer. Ada laporan beberapa perwira polisi dan militer sedang dipertimbangkan untuk menduduki jabatan sementara sebagai gubernur, bupati, atau walikota, untuk menggantikan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan September.

Kasus Medan kembali menjadi pengingat bagi pembuat kebijakan tentang perlunya merevisi UU Peradilan Militer 1997. Proses revisi tersebut ditentang oleh TNI. Para prajurit tidak menghormati sistem peradilan pidana karena mereka tahu bahwa mereka berada di luar jangkauan hukum sipil. Lebih buruk lagi, pengadilan militer sering gagal menjatuhkan hukuman maksimum, sehingga impunitas tetap ada.

Cita-cita agar TNI jadi kekuatan pertahanan yang andal, serta Polri sebagai aparatur yang tangguh dalam menjaga keamanan dan ketertiban, ternyata masih jauh dari capaian.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.