TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Subsidi salah sasaran

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, August 23, 2023

Share This Article

Change Size

Subsidi salah sasaran The Jakarta-Bandung high-speed train undergoes a comprehensive inspection on June 13, 2023. (Antara/KCIC)
Read in English

K

ereta cepat Jakarta-Bandung bukanlah jenis proyek yang layak dapat subsidi. Bahkan kekhawatiran pemerintah bahwa kereta akan sulit menarik cukup penumpang untuk mempertahankan kelangsungan bisnisnya juga tidak bisa dijadikan alasan memberi subsidi.

Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), konsorsium yang bertanggung jawab untuk kereta berkecepatan tinggi tersebut, telah mengusulkan tarif tiket sekitar Rp250.000 (atau $16,31 dolar Amerika) untuk operasional di tahun-tahun awal. Harga tersebut di bawah rencana awal tiket, tanpa subsidi, sebesar Rp350.000, yang setara tarif termahal kedua untuk kereta reguler Argo Parahyangan dengan rute sama.

Dengan harga tiket sebesar itu, kereta berkecepatan tinggi ini jelas menyasar masyarakat berpendapatan menengah ke atas, dan ditujukan untuk perjalanan bisnis. Menurut UU Perhubungan No. 22 Tahun 2009, perjalanan dinas berada di luar klasifikasi untuk layanan yang berhak mendapat subsidi, yang sebenarnya ditanggung oleh pembayar pajak.

Dengan hitungan sekarang, pemerintah membutuhkan setidaknya Rp1,1 triliun per tahun untuk mensubsidi kereta cepat. Perhitungan itu dengan asumsi jumlah penumpang per hari adalah 30.000 orang, seperti proyeksi Polar UI, institusi yang melakukan pengujian, pengukuran, observasi, dan layanan rekayasa dari Universitas Indonesia.

Menggelontorkan uang pembayar pajak untuk subsidi penumpang kereta cepat, yang tidak butuh sokongan, merupakan bentuk pengkhianatan lain dari pemerintah. Apalagi, saat meluncurkan proyek tersebut pada 2015, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menegaskan bahwa kereta cepat tidak akan melibatkan anggaran negara. Saat itu, ia mengatakan kereta akan mengikuti skema kerja sama business-to-business (B2B).

Namun pada 2021, pemerintah ingkar janji, dengan memasukkan anggaran negara melalui program penyertaan modal negara (PMN) ke proyek kereta cepat. Pemerintah mengeluarkan jaminan untuk memastikan proyek tersebut selesai tepat waktu, seiring tenggat utang China yang diperlukan.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Sesungguhnya, anggaran negara tidak dirancang untuk berperan dalam subsidi semacam tarif kereta Jakarta-Bandung. Apalagi, struktur anggaran sudah ketat untuk mendukung pengeluaran lain, terutama subsidi BBM, subsidi listrik roda dua, dan proyek pembangunan ibu kota baru.

Alih-alih mensubsidi penumpang kereta cepat, pemerintah seharusnya membantu sistem angkutan umum di daerah lain, di luar Jabodetabek, yang selama ini terabaikan.

Subsidi bus di 300 kota di daerah tertinggal hanya mendapat anggaran Rp177 miliar per tahun. Sedangkan bus rapid transit dalam kota yang melayani 11 wilayah, antara lain Medan, Bogor, dan Palembang, hanya mendapat Rp500 miliar per tahun.

Pemerintah juga perlu mensubsidi tarif tiket light rail transit (LRT) Jabodebek untuk jangka waktu yang lama. LRT, menurut undang-undang, memenuhi prasyarat pelayanan publik, sehingga layak disubsidi.

Ide subsidi kereta cepat awalnya datang dari Presiden Jokowi pada 10 Agustus. Namun, anggarannya masih belum terlihat, karena tidak ada dalam alokasi anggaran tahun ini atau tahun depan.

Sementara sumber subsidi masih belum jelas, pemerintah harus berhati-hati untuk tidak menumpukan seluruh beban pada perusahaan kereta api milik negara PT KAI, yang kebetulan memimpin para pemangku kepentingan Indonesia dalam konsorsium KCIC.

Memaksa KAI untuk menjual tiket di bawah harga pasar hanya akan membahayakan kesehatan keuangan perusahaan dan pada akhirnya akan membahayakan operasional layanan kereta reguler lainnya. Dampaknya bisa mengganggu pengembangan perkeretaapian masa depan di wilayah-wilayah lain Indonesia.

Sekarang terserah pemerintah untuk mencari solusi agar kereta cepat dapat beroperasi secara berkelanjutan, tanpa membebani APBN dan layanan publik lainnya.

Pada akhirnya, masalahnya bisa jadi hanya konsistensi. Pemerintah harus menyelaraskan kembali prioritas pembangunannya. Mungkin tak perlu lagi menambah jalur jalan tol, tapi meningkatkan jumlah transportasi umum yang memudahkan pengguna kereta cepat mencapai stasiun.

Semua upaya harus dilakukan untuk memastikan masyarakat bersedia meninggalkan kendaraan dengan sistem pembakaran konvensional yang menjadi penghasil karbon, dan beralih ke angkutan umum.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.