residen Joko “Jokowi” Widodo memang hadir pada KTT BRICS baru-baru ini di Johannesburg, Afrika Selatan. Namun, Indonesia mengambil keputusan bijak dengan tidak mengajukan keanggotaan di blok negara berkembang yang menawarkan pasar terbesar di dunia tersebut.
Keanggotaan memang dapat meningkatkan hubungan dengan negara-negara yang sedang berkembang di semua benua. Namun, saat ini mungkin bukan waktu yang tepat, mengingat persaingan negara-negara besar sedang memanas, misalnya pada hubungan Amerika Serikat dengan China, negara adidaya di Asia.
Istilah BRICS dicetuskan oleh kepala ekonom Goldman Sachs, Jim O'Neill, saat mencari istilah untuk menganalisis sekelompok pasar negara berkembang yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut cukup kuat, hingga diprediksi akan mendominasi perekonomian dunia pada 2050.
Dalam perkembangannya, blok ini membanggakan diri sebagai pelopor negara-negara Selatan atau sering disebut sebagai Global South. Selama ini, beberapa negara di Selatan banyak yang merasa diperlakukan tidak adil dalam tatanan perdagangan dan kemitraan ekonomi internasional, yang didominasi oleh negara-negara Barat.
Pergeseran geopolitik yang disebabkan oleh perang Rusia-Ukraina dan persaingan AS-China, pada akhirnya menempatkan blok tersebut pada posisi yang aneh. Mereka tidak lagi mewakili negara-negara berkembang, tetapi menjadi pihak yang bebas mengambil keuntungan dari perpecahan global.
Ketika Rusia menginvasi Ukraina tahun lalu, BRICS tidak mengecam Rusia. Dalam langkah yang dianggap menghindari blok Barat, mereka mengambil keuntungan dari minyak murah yang dijual Rusia saat kena sanksi Barat. Sedangkan Indonesia mengutuk invasi tersebut dan menyerukan penyelesaian perang secara damai.
Masing-masing negara anggota BRICS punya pandangan berbeda terhadap Amerika Serikat. Mereka juga punya kepentingan masing-masing saat bergabung dengan BRICS. Karenanya, pengaruh blok tersebut dalam perdagangan internasional masih belum jelas. Meski demikian, mulai 2024, enam negara baru telah memutuskan untuk bergabung.
Rusia mungkin berkeinginan membentuk kelompok anti-Barat. Sedangkan China, yang menyumbang 70 persen perekonomian blok tersebut saat ini, secara hati-hati menata ulang hubungannya dengan Amerika Serikat dan tetap menjaga persahabatan dengan Rusia.
India menentang dominasi China di Asia dan Pasifik dan telah mengembangkan hubungan yang lebih baik dengan AS. India menjadi bagian dari Quad, sebuah forum keamanan yang juga terdiri dari AS, Jepang, dan Australia. Quad bertujuan untuk membendung China.
Sementara itu, Brasil merupakan mitra AS, tetapi terus membeli minyak dari Rusia.
Hubungan Afrika Selatan dengan Amerika Serikat, China, dan Rusia mungkin yang paling rumit. Namun, secara umum Afrika Selatan masih mendapat manfaat dari relasinya dengan negara-negara besar tersebut.
Menghadapi perselisihan perdagangan dengan Uni Eropa mengenai bijih mineral dan minyak sawit, Indonesia mungkin senasib dengan negara-negara Selatan. Indonesia juga menanggung beban besar akibat agresi suku bunga Bank Sentral AS, yang membuat dolar AS tidak terjangkau oleh mata uang lain.
Sikap Indonesia jelas, harus ada kepentingan bersama dan kesetaraan jika bergabung dengan suatu perhimpunan. Hal itu mungkin ditawarkan oleh BRICS. Namun di saat persaingan global makin ketat, BRICS belum membuktikan keberaniannya dalam memajukan tatanan ekonomi yang lebih setara dan adil, serta belum mewujudkan kemitraan yang saling menguntungkan bagi negara-negara Selatan. Buktinya, mereka masih sulit menemukan titik temu untuk menjembatani perbedaan pandangan politik para anggota.
Salah satu hal menarik dalam agenda BRICS yang dapat dicermati oleh Indonesia adalah upaya kelompok tersebut memajukan mata uang lokal guna memperkuat perekonomian negara mereka. Secara luas, langkah ini dikenal sebagai dedolarisasi. Pada pertemuan puncak baru-baru ini, BRICS membahas penggunaan mata uang lokal untuk transaksi lintas batas.
Masih harus dilihat sejauh mana BRICS dapat mendorong upaya multilateral untuk mengakhiri dominasi dolar AS. Namun, di sisi lain, Indonesia telah mengajukan ide penggunaan mata uang lokal di ASEAN sejak tahun 2018. Tahun ini, Indonesia sebagai ketua ASEAN sedang berupaya mendorong keberhasilan upaya ini lebih jauh.
Pada akhirnya, Indonesia harus berpegang pada prinsip kebijakan luar negerinya yang bebas aktif dalam mengejar kepentingan nasionalnya, sekaligus saat merespons sifat hubungan internasional yang semakin sensitif.
Selain mencari organisasi internasional yang sudah mapan seperti BRICS, Indonesia juga harus membina kerja sama bilateral dan kemitraan dengan negara-negara yang memiliki kesamaan kepentingan. Hal ini akan menghindarkan kita dari dampak aktivitas yang tidak produktif akibat ketegangan geopolitik.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.