TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Proyek strategis yang serampangan

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, September 22, 2023

Share This Article

Change Size

Proyek strategis yang serampangan Representatives of the indigenous Melayu community hold a rally on Sept. 18, 2023 in Dumai, Riau province, to protest in solidarity with residents of Rempang Island, Riau Islands, who are facing eviction to make way for the government's mega development project. (Antara/Aswaddy Hamid)
Read in English

P

royek senilai $11,6 miliar dolar Amerika di Pulau Rempang seluas 17.000 hektar yang dekat dengan Singapura terdiri dari kota ramah lingkungan dan fasilitas produksi panel surya fotovoltaik serta pabrik kaca. Kegagalan untuk membuka lahan seluas 2.000 hektar yang dibutuhkan Xinyi Glass China untuk mengembangkan proyek tersebut dapat merusak kredibilitas pemerintah dalam hal pembuatan kebijakan dan penegakan hukum.

Kejadian Rempang juga dapat berdampak buruk terhadap pabrik Xinyi Glass lain yang sedang dibangun di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) di Gresik, Jawa Timur.

Risiko-risiko ini akan jadi nyata jika pemerintah tidak menghentikan penanganan secara serampangan terhadap pembebasan lahan untuk proyek Rempang Eco-City. Proses pembebasan lahan tersebut telah memicu bentrokan dengan kekerasan antara masyarakat lokal dan polisi pada tanggal 7 dan 11 September.

Penggunaan tindakan represif dan rencana pengusiran penduduk lokal secara paksa untuk membuka jalan bagi proyek tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Pada akhirnya, kejadian tersebut hanya akan menjadi bom waktu sosial, dan sewaktu-waktu dapat meledak lalu berdampak lebih dahsyat di skala nasional dan internasional.

Karena itu, pemerintah harus memulai kembali proses pengadaan tanah melalui konsultasi yang nyata dan bermakna dengan masyarakat lokal. Mereka harus dilibatkan dalam persetujuan pembebasan, diberi penjelasan dan informasi lebih dulu, serta semua harus sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Proses ini bisa makan waktu berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Namun, akan memastikan bahwa proyek bisa berjalan lancar untuk jangka panjang.

Pemerintah harus bertanggung jawab sepenuhnya atas kekerasan yang terjadi dalam penanganan proyek tersebut. Seharusnya, mereka memahami pentingnya berdiskusi secara terbuka dengan masyarakat Rempang, yang telah tinggal di pulau tersebut selama beberapa generasi.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Sungguh sulit dipahami, mengapa baru di bulan Juli pemerintah memulai pendekatan terhadap masyarakat yang terkena dampak proyek ini. Faktanya, tidak ada diskusi yang serius dan berarti yang dilakukan dengan masyarakat setempat. Yang terjadi hanyalah sekadar beberapa pertemuan, yang dimanfaatkan para pejabat untuk pamer kewenangan, dan bukannya berinteraksi dengan penduduk asli Rempang.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 secara de facto mengakui hak atas tanah bagi orang-orang yang telah mendiami suatu wilayah lebih dari 20 tahun, dan bahkan menetapkan bahwa orang-orang tersebut mendapat prioritas utama dalam pembagian hak atas tanah. Selain itu, UU Cipta Kerja tahun 2022 mengamanatkan adanya ruang dialog yang luas dalam proses pengadaan tanah. Negara, perusahaan investasi, serta masyarakat terdampak harus saling melakukan pendekatan kolaboratif. Atas alasan itu, pemerintah harus menjadwal ulang batas waktu pembebasan lahan pada tanggal 28 September untuk menunjukkan kepatuhan pada ketentuan-ketentuan ini.

Pemerintah tampaknya terlalu terobsesi mempercepat pembebasan lahan untuk proyek tersebut, sejak Xinyi Group dan mitra usaha patungannya di Indonesia, PT Berkah Elok Graha, menandatangani perjanjian investasi pada tanggal 28 Juli di Chengdu. Penandatanganan tersebut disaksikan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.

Tampaknya pemerintah juga berasumsi bahwa akuisisi di Pulau Rempang akan berjalan semulus proyek pabrik kaca Xinyi senilai $700 juta di JIIPE.

Namun, ada beda status lahan dalam kedua proyek tersebut. Mengakuisisi lahan seluas 1.000 hektar untuk proyek Xinyi di JIIPE tidak sulit karena lahan tersebut merupakan milik perusahaan patungan, dikuasasi Grup AKR dan operator pelabuhan milik negara Pelindo.

Betapapun strategis dan bermanfaatnya proyek Rempang bagi pembangunan ekonomi, penduduk pulau harus diajak diskusi sejak awal. Mereka harus punya informasi tentang manfaat proyek bagi mereka dan anak-anak mereka. Reformasi sudah berjalan seperempat abad. Saat ini, pemerintah seharusnya sudah belajar dari banyak sengketa pertanahan lainnya. Pemerintah harusnya paham bahwa masyarakat biasanya punya akar psikologis dan budaya di tanah yang mereka tempati secara turun-temurun, dan karena alasan itu, sengketa pertanahan sering kali bermuatan emosi.

Kuncinya adalah diskusi dengan masyarakat. Keamanan terbaik bagi sebuah proyek investasi besar adalah saat masyarakat lokal paham sepenuhnya bahwa mereka akan mendapat manfaat langsung dari pembangunan proyek. Manfaat ini bisa berupa lebih banyak lapangan kerja atau adanya efek pengganda pada perekonomian dan bisnis lokal.

Untuk mencapai pemahaman tersebut, diperlukan proses komunikasi dan konsultasi yang panjang dengan warga. Butuh kesabaran berdiskusi dengan masyarakat yang dalam banyak kasus belum terbiasa mengutarakan kepentingan dan aspirasinya. Dan merupakan tugas pemerintah untuk membantu serta membimbing mereka melalui proses tersebut.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.