TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Menyasar TikTok

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, September 25, 2023

Share This Article

Change Size

Menyasar TikTok Monica Amadea (center), who runs Monomolly on TikTok Shop, and her employees offer merchandise using TikTok LIVE, as seen in this photo taken on April 4, 2023 in Jakarta. (AFP/Bay Ismoyo)
Read in English

TikTok kembali jadi sorotan.

Pejabat tinggi pemerintah Indonesia menuduh platform video tersebut melakukan praktik predatory pricing dan monopoli. Predatory pricing adalah praktik menjual barang dengan harga di bawah biaya modal. Karena praktik tersebut, TikTok diduga telah merugikan banyak toko di pusat tekstil Tanah Abang di Jakarta, juga membuat banyak usaha mikro, kecil, dan menengah di seluruh negeri gulung tikar.

Pemerintah lalu mempertimbangkan untuk merevisi undang-undang perdagangan dan melarang perdagangan sosial, atau jual beli barang melalui platform media sosial.

Semua institusi dan individu punya kedudukan setara di hadapan hukum, dan harus taat hukum. Karena itu, TikTok dan perusahaan teknologi lainnya harus tunduk pada peraturan. Peraturan yang adil memastikan praktik bisnis yang berkelanjutan serta merangsang pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan di Indonesia.

Pemerintah di seluruh dunia menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas perusahaan teknologi di tengah makin besarnya pengaruh mereka di masyarakat, bahkan dalam politik.

Amerika Serikat dan China telah terus-menerus mengawasi dengan saksama operasional perusahaan-perusahaan teknologi besar di kawasan dan wilayah masing-masing, termasuk Google dan Alibaba. Dua negara tersebut khawatir praktik perusahaan teknologi semakin bersifat predator, baik dalam hal persaingan bisnis maupun privasi data pribadi.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Indonesia setidaknya punya dua peraturan besar bagi perusahaan teknologi. Salah satunya adakah kewajiban mendaftarkan perusahaan teknologi, baik lokal maupun asing, ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam pendaftaran, akan diungkapkan sistem mereka secara umum dan jenis data pengguna yang mereka kumpulkan berikut cara mengumpulkan datanya.

Aturan lainnya mengharuskan pendaftaran perusahaan e-commerce berikut semua lini bisnis yang menggunakan layanan mereka ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, untuk mematuhi aturan pajak digital.

Gagasan terbaru untuk mengatur perdagangan sosial, bagaimana pun, tampaknya agak terburu-buru. Gagasan itu berpotensi menghambat pertumbuhan sektor e-commerce di Indonesia.

Jika pemerintah melarang jual beli barang di media sosial, larangan itu tidak hanya berdampak pada TikTok tetapi juga platform media sosial lainnya seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp, serta seluruh bisnis yang memanfaatkan media sosial tersebut. Bisa jadi, perusahaan e-commerce lokal yang sudah mapan seperti Tokopedia, Lazada, dan BliBli juga akan terimbas efeknya.

Ketika menuduh TikTok melakukan predatory pricing, pejabat pemerintah seharusnya juga mempertimbangkan penyelesaian akar masalahnya. Sebuah harga dikatakan predator jika berasal dari bisnis atau individu yang menawarkan barang serupa dengan harga jauh lebih rendah dibandingkan pesaing mereka. Kategorinya bisa tuduhan penipuan. Jika terbukti, pihak TikTok harus bertanggung jawab.

Faktanya, TikTok punya masalah serius terkait moderasi konten. Aplikasi tersebut telah terkenal karena ketidakmampuannya mengawasi konten dari pengguna global yang terus bertambah. Banyak negara saat ini berusaha membendung dampak negatif platform ini terhadap masyarakat.

Uni Eropa telah mengenakan denda sekitar $370 juta dolar Amerika kepada TikTok karena aplikasi tersebut dinilai lemah melindungi informasi pribadi anak-anak. Di Eropa, hal tersebut termasuk pelanggaran langsung terhadap undang-undang perlindungan data.

Di AS, TikTok dan Bytedance, perusahaan induknya yang berbasis di Beijing, dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Pemerintah AS khawatir aplikasi akan membagikan informasi sensitif milik pengguna, termasuk lokasi geografis, kepada pemerintah China. Beberapa negara bagian dan sejumlah kota di AS telah melarang aplikasi ini diunduh di perangkat perusahaan, atau bahkan melarang total penggunaan aplikasi.

Sebagian negara-negara Afrika, termasuk Kenya dan Somalia, telah melarang atau sedang mempertimbangkan untuk melarang TikTok. Alasan yang diajukan adalah lemahnya kontrol konten, yang memungkinkan penyebaran konten seksual secara gamblang.

Di Asia, India melarang TikTok setelah terjadi bentrokan dengan pasukan China di perbatasan Himalaya pada 2020. India menuduh platform tersebut mengirimkan data ke China.

Di Indonesia, TikTok telah memberdayakan pengusaha, terutama pebisnis skala kecil di daerah terpencil, untuk memasarkan dan menjual produk mereka langsung ke pelanggan. Dengan aplikasi TikTok, para penjual bisa mengurangi margin biaya distributor dan reseller.

Apa yang terjadi di Pasar Tanah Abang adalah kasus klasik bagaimana belanja daring menggantikan toko fisik. Persis seperti kondisi Amazon di tahun 1990an, sehingga tak bisa serta merta menyalahkan TikTok saja. Kasus sepinya Tanah Abang bisa juga terjadi saat Tokopedia dan platform e-commerce lainnya mulai mendisrupsi model bisnis konvensional. Apalagi, selama pandemi, konsumen secara massal beralih ke belanja daring.

Memang betul, model bisnis TikTok yang memadukan e-commerce dan hiburan, dengan fitur video utama yang memungkinkan penjual dan produsen berinteraksi langsung dengan pelanggan dalam TikTok LIVE, dapat memperkuat dampak platform secara keseluruhan terhadap ekosistem ritel digital.

Melarang TikTok terlibat dalam perdagangan sosial, artinya pemerintah berisiko melarang seluruh subsektor e-commerce tersebut.

Jadi sebelum melarang TikTok, yang berpotensi menimbulkan efek domino regulasi, pemerintah mungkin ingin memeriksa basis operasional perusahaan lebih dulu. Bisa jadi, masalah TikTok bukan hanya itu.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.