TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Penjaga bangsa

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, October 4, 2023

Share This Article

Change Size

Penjaga bangsa Members of the Indonesian Army’s Raider 112 infantry battalion train at their base in Banda Aceh on June 11, 2019, using the SM2 light machine gun produced by state-owned weapons manufacturer PT Pindad. (AFP/Chaideer Mahyuddin)
Read in English

B

esok, 5 Oktober, negara ini memperingati Hari Ulang Tahun ke-78 Tentara Nasional Indonesia (TNI). Publik tidak akan melihat performa udara dari pesawat tempur Rafale atau Boeing F-15EX yang baru-baru ini dibeli atau akan dibeli oleh pemerintah. Meski demikian, parade Hari TNI akan menyampaikan pesan bahwa angkatan bersenjata negara siap melindungi Indonesia.

Modernisasi TNI merupakan suatu keharusan. Alasannya bukan sekadar karena kemajuan teknologi militer yang terus berlanjut, tetapi juga karena spektrum ancaman terhadap negara yang berubah dengan cepat, baik secara skala maupun bentuknya.

Setiap tahun, negara-negara di seluruh dunia mengalokasikan anggaran pertahanan dalam jumlah besar, karena mereka tidak ingin menunggu hingga potensi ancaman menjadi kenyataan. Beberapa negara tidak memiliki tentara tetap, seperti Kosta Rika, Republik Dominika, Islandia, dan Lichtenstein. Namun, negara-negara lain di dunia membenarkan pengadaan senjata karena percaya pepatah klasik si vis pacem para bellum, yang artinya kurang lebih “jika Anda ingin perdamaian, bersiaplah untuk perang”.

Faktanya, dengan penuh kecemasan kita telah menyaksikan aksi unjuk senjata di antara negara-negara besar. Negara-negara tersebut memang tetap menahan diri, mereka tidak menyerang atau memulai perang.

Dalam kasus Indonesia, kebutuhan untuk membangun dan mempertahankan militer yang kuat berasal dari semboyan yang menonjol di kalangan para pendiri bangsa dan pejuang kemerdekaan: “Kami mencintai perdamaian, tetapi lebih mencintai kemerdekaan.” Ungkapan ini masih relevan setelah hampir 80 tahun berlalu, mengingat luasnya wilayah darat, laut, dan udara serta kekayaan sumber daya alam yang wajib dilindungi oleh TNI.

Ancaman terhadap perdamaian kini mengintai kita. Terutama karena fokus persaingan negara-negara besar kini beralih ke kawasan Indo-Pasifik. Setiap ketegangan yang meningkat akan segera berdampak pada Indonesia.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Pengamatan terhadap kondisi geopolitik tampak jadi salah satu alasan di balik belanja senjata besar-besaran yang dilakukan Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto telah melakukan perjalanan ke Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Serikat guna mendorong kesepakatan pengadaan senjata sebagai bagian dari program modernisasi TNI. Program modernisasi telah dimulai sejak kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.

Jika terwujud, kesepakatan pengadaan senjata utama, mulai dari kapal perang dan kapal selam hingga jet tempur, akan meningkatkan kemampuan pertahanan dan penangkalan kita secara signifikan. Ketika program modernisasi TNI berakhir tahun depan, militer diharapkan telah mencapai tujuannya untuk mencapai kekuatan esensial minimum (minimum essential force atau MEF).

Ketika ancaman eksternal masih ada, atau bahkan berubah bentuk, modernisasi TNI harus terus berlanjut. Bisa saja ditekankan pada pertahanan siber dan memaksimalkan penggunaan kecerdasan buatan. Pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, cepat atau lambat, akan menggeser medan pertempuran dari arena fisik ke arena digital.

Satu hal yang tidak akan pernah berubah adalah kemampuan manusia yang berperan di balik senjata. Hal itu sudah terlihat dalam sejarah peperangan, mulai dari pertempuran kuno hingga perang yang sedang berlangsung di Ukraina. Penentu jalannya perang adalah kualitas prajurit di lapangan dan jenderal yang ahli strategi di pusat komando.

Inilah sebabnya mengapa tentara menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berlatih, termasuk latihan menggunakan senjata yang makin modern. Pada beberapa kesempatan, tentara berpartisipasi dalam latihan bersama untuk mempelajari teknologi dan taktik baru. TNI secara rutin menjadi tuan rumah atau berpartisipasi dalam latihan multinasional untuk meningkatkan kerja sama militer dan mempertebal rasa saling percaya.

Pada akhirnya, kita sangat membutuhkan tentara profesional yang paham cara menjaga negara dan, dalam iklim politik saat ini, juga menjaga demokrasi. Reformasi besar-besaran pada 1998 mengembalikan fungsi pertahanan militer, mengakhiri peran militer di masa lalu sebagai alat teror dan penindasan yang dilakukan Orde Baru terhadap rakyat.

Dalam semangat reformasi, militer melepaskan peran sosiopolitiknya dan fokus pada tugas konstitusional dalam pertahanan negara. Reformasi militer mungkin tidak sempurna, tetapi ada kemajuan yang patut mendapat pengakuan.

Menjelang pemilu tahun 2024, yang dianggap sebagai momen penting bagi demokrasi Indonesia, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono telah berjanji menjaga netralitas militer. Meskipun pernyataannya sudah jelas, komitmen untuk menjauhi politik ini harus ditegaskan kembali agar tertanam dalam alam bawah sadar setiap anggota TNI.

Kita akan terus menyerukan bahwa TNI yang kuat dan modern adalah yang mampu melindungi seluruh bangsa dan melindungi demokrasi kita yang masih baru.  

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.