SEAN menganggap semakin intensifnya latihan militer gabungan serta kerja sama antara Filipina, Amerika Serikat, dan sekutu-sekutunya, termasuk Australia, berikut tanggapan keras dari Tiongkok, sebagai urusan dalam negeri Manila.
Perhimpunan negara-negara di Asia Tenggara bisa jadi di kemudian hari menyesal mengambil sikap santai seperti itu. Bagaimana pun, cepat atau lambat, ketegangan yang meningkat di regional bisa meletus menjadi konflik besar-besaran antara dua negara adikuasa, dan jika ya, itu terjadi di kawasan yang dekat dengan tempat tinggal kita.
Sikap ASEAN menimbulkan kesan menyerahkan tanggung jawab kepada Manila untuk mengkonfrontasi Beijing atas klaim teritorial mereka yang tumpang tindih di Laut China Selatan (LCS). Dengan sikap itu, ASEAN seolah-olah menganggap hal ini hanyalah masalah bilateral di antara mereka. Di sisi lain, Manila tampak tidak merasa ada masalah dengan tidak adanya dukungan ASEAN.
ASEAN tidak punya konsensus terkait kemitraan diplomatik dengan Quad, yang merupakan AS, Jepang, Australia, dan India, maupun dengan pakta militer AUKUS yang terdiri dari Australia, Inggris, dan AS. Dua perjanjian tersebut dirancang untuk mengimbangi pengaruh Tiongkok yang semakin besar di Asia-Pasifik.
KTT ASEAN serta pertemuan tingkat menteri luar negeri dan menteri pertahanan secara rutin mengangkat isu LCS. Namun kelompok ini cenderung mengambil pendekatan yang tidak terlalu mencolok ketika menyangkut LCS, mungkin karena Tiongkok terlalu kuat untuk dikonfrontasi, dan perekonomian negara-negara anggota ASEAN bergantung padanya.
Yang terjadi, ketegangan terus berlanjut di wilayah maritim yang disengketakan.
Bulan lalu, Filipina menjadi tuan rumah latihan militer gabungan di LCS dengan Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan, bersama Inggris sebagai pengamat. Seperti biasa, Tiongkok mengeluarkan kecaman keras atas latihan gabungan tersebut, dan menyebutnya sebagai upaya bersama untuk mengacaukan laut lepas. Lebih jauh, Tiongkok berjanji akan membalas tindakan apa pun yang dapat merugikan kepentingan Beijing di wilayah tersebut.
“Bersama-sama, kami mengirimkan pesan yang kuat kepada dunia, terutama kepada mereka yang mungkin berupaya mengganggu perdamaian, bahwa kemitraan kami tidak dapat dipatahkan,” kata Komandan Korps Marinir Filipina Mayjen Arturo Rojas, seperti dikutip Associated Press.
Dalam sebuah pernyataan setelah KTT di Jakarta pada bulan September, para pemimpin ASEAN telah menegaskan kembali posisi mereka terkait LCS. Dalam pernyataan juga disebut bahwa solusi terhadap masalah ini harus didasarkan pada hukum dan norma internasional, seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 (UN Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS). Namun, mereka gagal menyepakati inisiatif bersama untuk menghadapi Tiongkok.
Pada pertemuan tahunan di Jakarta bulan lalu, para menteri pertahanan ASEAN menekankan perlunya menjaga perdamaian di LCS dan menerapkan sikap “menahan diri dalam melakukan kegiatan yang akan memperumit atau meningkatkan perselisihan dan memengaruhi perdamaian dan stabilitas”.
Mereka juga menegaskan kembali komitmen untuk menerapkan Kode Etik di LCS (the Code of Conduct in the South China Sea). Pembuatan kode etik ini merupakan persetujuan antara Tiongkok dan ASEAN pada 2002.
Kita jarang melihat negara-negara anggota ASEAN menunjukkan kesatuan dalam menghadapi Tiongkok. Padahal, empat dari anggota ASEAN, yaitu Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Filipina mengklaim wilayah di LCS yang tumpang tindih dengan klaim Tiongkok.
Sementara itu, Beijing telah menunjukkan preferensi untuk melakukan negosiasi bilateral mengenai klaim tersebut. Negosiasi bilateral merupakan mekanisme yang secara strategis memberikan nilai tambah bagi Tiongkok sekaligus melemahkan ASEAN.
Filipina lebih agresif jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang terlibat sengketa. Agresivitas ini bisa jadi karena kedekatan geografisnya dan hubungan sejarah yang sudah berabad-abad dengan Tiongkok. Sementara itu, Vietnam menghindari keterlibatan pihak luar, meski ada pendekatan intensif dari AS.
Meskipun Indonesia bukan termasuk pihak yang mengajukan klaim atas LCS, Jakarta menghadapi ketegangan yang semakin besar dengan Beijing karena Beijing terus mengabaikan UNCLOS. Padahal, perjanjian itulah yang menjamin hak kedaulatan Indonesia atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara. Lokasi ini terletak di ujung selatan LCS. Tiongkok bersikeras bahwa para nelayannya punya hak untuk menangkap ikan di perairan Natuna, yang telah menjadi daerah penangkapan ikan tradisional mereka selama ribuan tahun.
Sejauh ini, Jakarta dan Beijing mampu menyelesaikan perselisihan mereka secara damai.
Mengingat meningkatnya persaingan negara-negara besar di lautan yang kaya sumber daya ini, ASEAN harus mengesampingkan perbedaan kepentingan nasional mereka dan bertindak dalam kesatuan guna melakukan upaya bersama untuk menghadapi Tiongkok dan negara-negara lain.
Persatuan ASEAN adalah suatu keharusan jika ingin meningkatkan daya tawar negara-negara anggota perhimpunan saat menghadapi negara-negara besar.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.