Menurut perhitungan para peneliti dan aktivis lingkungan hidup, megaproyek GSW akan menimbulkan potensi kerugian ekonomi di sektor perikanan sebesar Rp207 miliar (atau $13,3 juta dolar Amerika) setiap tahunnya.
ada 10 Januari, Menteri Pertahanan Prabowo dan sekutunya di pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengajukan gagasan untuk mempercepat pembangunan tanggul laut raksasa, atau giant seawall (GSW), di sepanjang garis pantai utara Jawa.
Proyek ini diusulkan sebagai solusi pilihan pemerintah pusat untuk mengatasi penurunan permukaan tanah. Turunnya permukaan tanah memang dialami sebagian wilayah Indonesia yang menjadi sasaran pembangunan infrastruktur yang intensif dengan aktivitas ekonomi yang berkembang pesat.
Namun, kita harus bisa memetakan tiga masalah mencolok dalam saran pembangunan GSW tersebut, terutama jika kita mempertimbangkan gambaran besarnya.
Pada tataran praktis, wajar jika kita berasumsi bahwa pemerintah hanya ingin melindungi kepentingan ekonomi nasional. Permukaan air laut yang makin tinggi memang jadi tantangan bagi negara-negara pulau dan kepulauan.
Jika diterapkan dengan hati-hati dan benar, tanggul laut kemungkinan besar memang dapat melindungi wilayah pantai utara Jawa, yang dikenal sebagai Pantura, dari banjir rob. GSW bisa mencegah tenggelamnya wilayah yang dalam kenyataannya adalah pusat ekonomi negara ini. Sebagaimana kita ketahui, terdapat 70 kawasan industri dan lima kawasan ekonomi khusus (KEK) yang berada di sekitar Pantura.
Namun, solusi ini mengabaikan permasalahan utama yang menyebabkan penurunan permukaan tanah, yaitu pengambilan air tanah secara berlebihan. Adalah pembangunan pusat-pusat kegiatan industri dan ekonomi yang ada di balik aktivitas konsumsi air tanah tersebut.
Studi kasus di Jepang dan Thailand menunjukkan bahwa kebijakan untuk menghentikan praktik pengambilan air tanah jauh lebih sederhana sekaligus lebih efektif dalam memperlambat penurunan permukaan tanah. Lihat saja, tidak ada tanggul raksasa yang melindungi garis pantai dua negara tersebut.
Lagi pula, dengan GSW, ada potensi hilangnya keanekaragaman hayati laut dan kerugian ekonomi akibat lenyapnya pilar-pilar ekonomi biru, misalnya sektor perikanan.
Menurut perhitungan para peneliti dan aktivis lingkungan hidup, megaproyek GSW akan menimbulkan potensi kerugian ekonomi di sektor perikanan sebesar Rp207 miliar (atau $13,3 juta dolar Amerika) setiap tahunnya. Asumsinya, megaproyek tersebut akan dibangun di atas ekosistem laut yang sangat penting.
Terkait masalah ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mungkin dapat berdalih dengan mengatakan bahwa studi ekologi yang diperlukan telah dilakukan.
Namun, kapan terakhir kali pemerintah melakukan tindakan yang tepat terkait lingkungan dalam skala besar? Belum lagi komitmen pemerintah dalam membangun daerah di luar Pulau Jawa juga perlu dipertanyakan.
Dari segi analisis biaya, proyek GSW tidaklah murah. Prabowo memperkirakan biayanya bisa mencapai $60 miliar. Biaya tersebut hampir dua kali lipat lebih besar jika dibandingkan dengan proyek ibu kota baru (IKN) Nusantara. IKN menelan biaya $35 miliar dan bahkan belum menunjukkan hasil nyata apa pun.
Awalnya, proyek GSW mengandalkan pendanaan sektor swasta 100 persen. Namun, saat ini, satu-satunya jalan yang memungkinkan bagi pemerintah adalah memasukkannya ke dalam anggaran ke APBN dan APBD. Dan hal semacam itu bukanlah pilihan yang bijaksana dan tidak etis dilakukan selama tahun politik.
Dengan menjadikan proyek ini sebagai kegiatan beberapa daerah, para pejabat mungkin berpendapat bahwa pembagian beban secara kolektif pada akhirnya akan menghasilkan keuntungan moneter kolektif pula. Sayangnya, hal yang sama juga berlaku terhadap penyalahgunaan dana.
Poin terakhir mungkin yang paling kontroversial karena seruan untuk mempercepat proyek GSW dapat dengan mudah ditafsirkan sebagai hal yang bersifat politis.
Tidak ada argumen yang pas untuk bisa membenarkan alasan bahwa Menteri Pertahanan yang akan memimpin proyek ini. Itulah sebabnya, peran Prabowo dan Airlangga harus dilihat melalui kacamata yang sama dengan melihat pemilu mendatang.
Sebagai calon presiden yang berkampanye tentang kesinambungan, dan didukung oleh pemimpin partai Golkar yang sudah sangat mapan, sulit untuk tidak melihat promosi GSW sebagai hanya janji kampanye belaka.
Karena itu, saran terkait GSW patut dipertanyakan. Pasalnya, ada penggunaan wewenang negara untuk keuntungan politik pribadi, yang dengan sendirinya tidak adil bagi andidat lain.
Kami percaya bahwa lebih baik memikirkan kembali motivasi proyek ini. Keputusan untuk dijalankan atau tidak, sebaiknya diambil setelah pelantikan pemerintahan baru.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.