Baik pihak agresor maupun pihak yang bertahan sama-sama menderita akibat perang.
nvasi Rusia selama dua tahun ke Ukraina kembali membuktikan kebenaran pepatah lama “menang jadi arang, kalah jadi abu”. Baik pihak agresor maupun pihak yang bertahan sama-sama menderita akibat perang. Meskipun pihak agresor harus disalahkan sebagai pemicu terjadinya perang, pada dasarnya, dalam peperangan, tidak akan ada pemenang sejati.
Invasi ini juga harus menjadi peringatan bagi negara-negara lain, termasuk para anggota ASEAN, untuk tidak bergantung pada negara lain. Ketergantungan ini terutama terkait integritas wilayah, terlepas dari kekuatan atau kedekatan mereka. Sebaliknya, negara-negara besar tidak bisa menindas negara-negara kecil tanpa konsekuensi apa pun.
Saat ini, persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam memperebutkan pengaruh atas satu wilayah, khususnya di Laut China Selatan, semakin intensif. Sepuluh negara anggota ASEAN tidak boleh membiarkan negaranya terjerumus dalam perangkap persaingan hegemonik antara kedua negara adidaya tersebut. Bukan hal yang mudah bagi negara-negara ASEAN, terutama jika mereka tergiur pada insentif ekonomi atau perlindungan militer.
Banyak negara anggota ASEAN masih bergantung pada AS dalam hal keamanan dan pertahanan melawan dominasi Tiongkok yang semakin besar di kawasan. Tiongkok dan empat negara tetangganya yang masuk kawasan ASEAN telah terlibat dalam klaim wilayah yang tumpang tindih selama berpuluh-puluh tahun. Kawasan yang diperebutkan adalah Laut China Selatan yang kaya akan sumber daya alam. Meski begitu, perebutan tidak menghapuskan fakta bahwa ASEAN secara keseluruhan bergantung secara ekonomi pada Tiongkok. Karena itu, hubungan antara negara-negara ASEAN dengan Tiongkok tetap berkelanjutan.
Dalam kasus Rusia, rasa percaya diri yang berlebihan telah merugikan negara tersebut. Kerugiannya pun lebih dari yang diperkirakan. Namun Presiden Vladimir Putin tidak punya pilihan selain melanjutkan perang sampai misinya tercapai. Di sisi lain, Ukraina juga tampak yakin negara-negara Barat akan mendukung penuh perjuangannya melawan Rusia. Namun, belakangan diketahui bahwa kesenjangan antara harapan dan kenyataan bisa sangat besar.
Setelah dua tahun berperang, baik Rusia maupun Ukraina telah mengakui adanya kerugian tidak hanya dalam bentuk nyawa ribuan tentara dan warga sipil, namun juga kehancuran perekonomian di dua negara. Sementara itu, Rusia menghadapi sanksi ekonomi dari Barat dan terisolasi dari dunia luar. Di dalam negeri, Putin juga menghadapi tekanan atas meningkatnya oposisi, meskipun hal ini tidak dapat menandingi kekuasaan absolutnya.
Menyusul invasi Rusia pada 24 Februari 2022, Majelis Umum PBB, termasuk seluruh anggota ASEAN, mengutuk keras agresi militer tersebut. Hanya lima negara yaitu Rusia, Belarus, Korea Utara, Eritrea, dan Suriah, yang memberikan suara menentang kecaman tersebut, sementara 141 negara lainnya memberikan suara mendukung.
Pada awal perang, Uni Eropa, NATO, dan Amerika Serikat berjanji tidak akan membiarkan Putin lolos begitu saja. Mereka juga mengatakan akan memberikan semua bantuan yang diperlukan kepada Ukraina, khususnya bantuan senjata. Mereka menyatakan tidak akan pernah menyerah sampai Putin menarik pasukannya dari Ukraina tanpa syarat.
Presiden AS Joe Biden berjanji akan mendukung penuh upaya Presiden Volodymyr Zelensky dalam membebaskan negaranya dari invasi Rusia. Namun Kongres yang didominasi Partai Republik memblokir sebagian besar pasokan militer Biden ke Kiev. Akan menjadi mimpi buruk bagi Ukraina jika Donald Trump memenangkan pemilu November ini. Trump adalah pengagum Putin. Ia berulang kali mengatakan bahwa semua anggota NATO harus membayar lebih untuk perlindungan keamanan mereka.
Seperti yang dijelaskan oleh The Guardian dalam edisi 21 Februari 2024, ketika invasi ke Ukraina dimulai dua tahun lalu, beberapa pihak memperkirakan hanya butuh waktu tiga hari bagi pasukan Rusia untuk merebut ibu kota Kiev. Namun mereka ternyata salah terka. Putin kini tampaknya menunggu saat-saat ketika dukungan Barat terhadap Ukraina melemah.
“Meskipun dukungan masyarakat Eropa terhadap Ukraina masih luas, tetapi menurut survei Uni Eropa, hanya 10 persen yang percaya bahwa Ukraina dapat mengalahkan Rusia, dengan beberapa bentuk ‘penyelesaian kompromi’ yang dipandang sebagai titik akhir yang paling mungkin,” tulis The Guardian.
Apa yang terjadi di Ukraina saat ini dapat menimpa negara mana pun. Invasi ke Ukraina telah memberi kita pelajaran berharga tentang betapa mahalnya harga kebebasan berdaulat. Bahkan sekutu pun tidak bisa melindungi kita. Kita hanya punya diri kita sendiri.
Dengan makin banyaknya kerugian di kedua belah pihak, perdamaian seharusnya jadi penutup perang paling logis yang diperjuangkan Rusia dan Ukraina.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.