Menteri dan para pemimpin agama sebaiknya mendedikasikan waktu dan energi mereka untuk mengatasi permasalahan nyata yang dihadapi sebagian orang, agar pernikahan mereka diakui oleh negara.
enteri Agama Yaqut Cholil Quomas hobi menimbulkan kontroversi. Contoh terbaru adalah usulannya untuk membuka Kantor Urusan Agama (KUA) demi memperluas layanan kepada warga nonmuslim. KUA yang terdapat di setiap kecamatan, saat ini bertugas menyelenggarakan dan mencatatkan perkawinan secara Islam. Kini, Menteri ingin kantor tersebut bisa memberikan layanan yang sama kepada pemeluk agama lain.
Tidak jelas mengapa dia ingin membuat kebijakan itu. Hal ini bukan saja tidak praktis, karena restrukturisasi dan perluasan lingkup kerja KUA akan memerlukan banyak pekerjaan. Lebih jauh, hal ini juga tidak diinginkan sejak awal. Tidak pernah ada tuntutan untuk memperluas cakupan KUA. Kelompok agama minoritas sudah puas dengan layanan catatan sipil untuk mencatatkan pernikahan mereka. Mereka mungkin curiga terhadap kemampuan KUA dalam memenuhi kebutuhan mereka, karena secara historis kantor tersebut didominasi tradisi Islam.
Usulan tersebut kini masih dibahas bersama para pemimpin agama besar. Namun, sudah ada beberapa penolakan dan skeptisisme. Sebetulnya, kita patut memuji Yaqut, meski bukan atas inisiatifnya, melainkan atas semangat yang mendasarinya. Dengan menerapkan inklusivitas, ia mengatakan KUA tidak seharusnya hanya melayani mayoritas muslim, yang merupakan 86 persen dari 280 juta penduduk Indonesia.
Jika boleh menyarankan, sebaiknya para menteri dan pemimpin agama mendedikasikan waktu dan energi mereka untuk mengatasi masalah nyata yang dihadapi sebagian orang, agar pernikahan mereka diakui oleh negara.
Saat ini, kebanyakan orang tidak lagi menemui kendala dalam mendapatkan surat nikah mereka dari negara. Hingga empat tahun lalu, banyak penganut agama dan kepercayaan minoritas tidak bisa mendaftarkan pernikahan mereka jika mereka tidak menganut salah satu dari enam agama yang diakui negara. Hal ini berdampak buruk bagi banyak keluarga, karena keturunan mereka tidak diakui oleh negara. Sering kali, hak waris mereka ditolak.
Terobosan terjadi pada 2019 ketika pemerintah memerintahkan catatan sipil untuk menerima pernikahan semua agama dan kepercayaan. Itulah semangat inklusivitas yang harus diwujudkan lebih lanjut.
Ada satu kelompok lagi yang perlu dirangkul, yakni orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama.
Catatan sipil masih bersikukuh bahwa pihaknya hanya akan mencatat perkawinan yang disahkan oleh lembaga keagamaan. Hal ini menjadi problematis jika ada pasangan yang masing-masing memutuskan untuk tetap mempertahankan keyakinannya. Pasalnya, hampir semua lembaga keagamaan menolak menyelenggarakan pernikahan beda agama. Mereka biasanya menuntut salah satu pasangan untuk pindah agama, mengikuti keyakinan calon pasangannya.
Sampai saat ini, pasangan beda agama mengatasi hal ini dengan mendapatkan keputusan pengadilan untuk mengakui pernikahan mereka. Kemudian, berbekal surat pengesahan nikah itu, mereka mencatatkan pernikahan di catatan sipil. Namun, pada Juli 2023, Mahkamah Agung melarang pengadilan negeri membuat keputusan pengesahan nikah.
Ada satu pilihan lain yang bisa dilakukan pasangan berbeda agama, yaitu menikah di catatan sipil di luar negeri, kemudian mengajukan akta nikah mereka ke catatan sipil setelah kembali ke Indonesia. Saat ini, Singapura dan Australia adalah tujuan favorit. Namun, tidak semua orang punya uang untuk bepergian dan menikah di luar negeri.
Dengan meningkatnya jumlah pernikahan beda agama di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, semakin banyak pasangan yang merasa bahwa pernikahan mereka hampir tidak mungkin diakui oleh negara.
Memang benar, undang-undang menganggap semua perkawinan sebagai sakramen agama. Karena itu, pernikahan hanya dapat diselenggarakan oleh lembaga keagamaan. Peran negara hanya sebatas mendaftar pernikahan mereka. Berbeda dengan aturan di negara sekuler, catatan sipil Indonesia tidak punya wewenang untuk menyelenggarakan perkawinan.
Di sisi lain, penolakan untuk mengakui perkawinan beda agama berarti pengingkaran terhadap hak-hak dasar masyarakat, dan kemungkinan besar juga hak anak-anak dari pasangan yang berbeda agama. Mewajibkan salah satu pasangan untuk pindah agama juga merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang menjamin kebebasan beragama.
Prinsip-prinsip agama tidak pernah dimaksudkan untuk menghilangkan hak-hak dasar manusia. Kita perlu memiliki penafsiran hukum yang tidak terlalu kaku untuk memfasilitasi pernikahan beda agama. Menteri Yaqut dan para pemimpin agama perlu duduk bersama dan membantu menemukan solusi untuk masalah tersebut, menjunjung semangat inklusivitas.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.