Gagal memenuhi standar kepatuhan lingkungan, sosial dan tata kelola (environmental, social, dan governance atau ESG) – khususnya bagian “lingkungan” – menciptakan kerentanan yang membahayakan korporasi maupun kondisi makroekonomi. Risiko ini membayangi pembangunan industri di Indonesia.
aru-baru ini, Hyundai Motor Company menarik diri dari perjanjian dengan PT Adaro Minerals Indonesia (Adaro). Langkah yang diambil setelah terdapat seruan dari para aktivis iklim tersebut seharusnya membuat kita berkontemplasi sejenak.
Pada akhir Maret, produsen mobil asal Korea Selatan tersebut mengonfirmasi keputusannya untuk tidak memperbarui nota kesepahaman (atau MoU) terkait pasokan aluminium. Hyundai tampaknya memutuskan hal tersebut sebagai respon terhadap tekanan dari kampanye yang didorong oleh para penggemar K-pop. Mereka menagih komitmen perusahaan terkait material industri dari sumber yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Masalah dalam produksi alumunium di Indonesia adalah kenyataan bahwa, di proses awal, industri padat energi tersebut bergantung sepenuhnya pada energi yang berasal dari batu bara. Meski sebetulnya, Adaro telah mengumumkan bahwa operasional pabrik peleburan alumunium didukung oleh pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 1,3 gigawatt.
Tanpa mengetahui apakah sumber aluminium alternatif yang dimiliki Hyundai akan lebih ramah lingkungan, kita tidak dapat secara gegabah menyatakan setuju atau tidak setuju pada keputusan perusahaan untuk hengkang dari kerja sama. Sebuah kampanye lingkungan hidup yang disebarkan melalui media sosial sangat diragukan mampu menilai jejak ekologis suatu perusahaan secara keseluruhan.
Namun, ada pelajaran yang bisa dipetik. Sebuah perusahaan besar, seberapa patuhnya pada peraturan lingkungan hidup yang berlaku, dan bahkan jika perusahaan tersebut punya rencana netralitas karbon dalam proyeksi usahanya, selama fasilitasnya masih menggunakan listrik yang berasal dari batu bara, maka seluruh operasionalnya akan ternoda. Produknya akan jadi barang tercela.
Kondisi ini memang tidak adil. Bagaimana pun, proses transisi energi butuh waktu. Tapi, fakta tersebut ada, dan harus jadi pertimbanga para pemimpin bisnis. Merasakan tekanan yang semakin besar, para pelaku industri di Indonesia mendesak pemerintah untuk meningkatkan akses terhadap energi terbarukan.
Standar lingkungan, sosial, dan tata kelola, atau ESG, bukan lagi sekadar hal yang harus dilakukan perusahaan untuk meningkatkan citranya di mata masyarakat. Terkait kinerja perusahaan, kepatuhan pada ESG bukan hanya tambahan kewajiban yang bersifat opsional belaka.
Justru, kegagalan untuk memenuhi standar ESG, terutama terkait lingkungan, menciptakan kerentanan yang membahayakan korporasi maupun kondisi makroekonomi. Inilah risiko yang dihadapi dalam pembangunan industri di Indonesia.
Pengawasan dalam bidang ini akan semakin meningkat. Itulah alasan mengapa calon investor harus mempelajari kelayakan ESG suatu proyek, terutama jika hendak menanamkan modal asing dalam jumlah besar dan memproduksi barang yang berorientasi ekspor.
Tentu saja, penerapan prinsip-prinsip ESG dengan sepenuh hati tidaklah murah, bandingkan dengan kegiatan yang hanya sekadar mencetak beberapa poin promosi. Sisi baiknya, biaya adaptasi, sampai batas tertentu, atau bahkan seluruhnya, akan impas dengan hadirnya opsi pendanaan tambahan. Di sisi lain, saluran pendanaan untuk proyek-proyek yang buruk, seperti proyek pembangkit listrik tenaga batu bara, semakin menyempit.
Sementara itu, kerugian akibat tidak memenuhi standar lingkungan sangat besar. Bahkan baru terkesan gagal memenuhi standar lingkungan saja sudah dapat menyebabkan seluruh sektor terkena dampaknya.
Baru-baru ini, dalam sebuah wawancara dengan Financial Times, miliarder pertambangan Australia Andrew Forrest menggunakan kondisi yang ESG yang rentan tesebut. Ia menyerukan agar Tiongkok menuntut standar lingkungan yang lebih tinggi bagi pasokan nikelnya. Menurut artikel FT yang diterbitkan awal bulan ini, pimpinan Fortescue Metals Group tersebut menuduh industri pemrosesan nikel di Indonesia “sangat tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan”. Ia mengklaim bahwa bahan penting dalam baterai tersebut diekstraksi melalui proses yang berdampak yang sangat besar terhadap lingkungan. Ia tambahkan bahwa para konsumen nikel “perlu berhati-hati jika membeli (nikel) dari sumber [Indonesia] tersebut”.
FT menyebutkan bahwa Forrest harus “menutup beberapa tambang di Australia Barat pada bulan Januari karena harga nikel anjlok. Turunnya harga sebagian disebabkan oleh hadirnya pasokan dari Indonesia.”
Pada Januari, sebuah artikel yang diterbitkan oleh CBC Kanada menunjukkan kepercayaan diri para eksekutif pertambangan Kanada dalam hal perang harga melawan nikel murah dari Indonesia, dan tidak hanya berkompetisi berdasarkan aspek ESG. “Karena alasan politik dan lingkungan, nikel yang dihasilkan mungkin tidak akan pernah masuk dalam rantai produksi kendaraan listrik di Amerika Utara dan belahan dunia Barat lainnya,” tulis artikel tersebut. Lebih jauh, disebutkan bahwa “operasional produksi nikel di Indonesia menggunakan batu bara untuk pengolahannya dan dimiliki oleh Tiongkok.”
Keterlibatan personal atau tidak, yang jelas kegagalan dalam memenuhi standar lingkungan hidup, yang bahkan belum terbukti, membuat perusahaan-perusahaan Indonesia dituduh melakukan perusakan lingkungan. Terminologi yang digunakan adalah greenwashing. Sesungguhnya, kepatuhan yang terukur atas standar-standar ESG akan membuat mereka tidak terlalu rentan terhadap serangan-serangan tersebut.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.