Mengenakan tambahan bea tanpa merevisi harga tertinggi hanya akan memotong margin industri penerbangan yang sudah tercekik.
agi negara seperti Indonesia, yang sedang berusaha keras membangkitkan lagi industri pariwisatanya, menerapkan biaya tambahan pada harga tiket pesawat yang sudah mahal bukanlah ide bagus.
Bukan ide bagus juga untuk mengusulkan retribusi dalam skema dana abadi pariwisata yang baru saja dibentuk. Pemerintah mengklaim bahwa dana abadi akan menaikkan daya tarik Indonesia di mata wisatawan asing.
Dana abadi pariwisata ini merupakan hal yang diharapkan, alasannya karena praktik serupa dilakukan di banyak negara lain yang menjadi tujuan wisata. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengungkapkan hal tersebut, Februari lalu. Ia menyebutkan bahwa dana tersebut dapat membantu Indonesia memenangkan tawaran untuk menjadi tuan rumah bagi konser megabintang, seperti Taylor Swift, layaknya yang telah dilakukan Singapura.
Namun kemudian muncul surat yang dikeluarkan oleh Kantor Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang menyarankan dilakukan pungutan dari biaya tiket pesawat untuk kontribusi dana abadi pariwisata. Hal itu memicu kontroversi.
Kegusaran masyarakat adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah. Bagaimana pun, saat ini, tidak semua orang bisa terbang, berbeda kondisinya dengan di masa lalu. Masa sekarang, biaya penerbangan domestik bisa sama besarnya dengan biaya penerbangan internasional yang berjarak sama.
Industri penerbangan dalam negeri kita sedang kacau, terutama setelah pandemi COVID-19 melanda pada awal 2020. Pandemi memang memukul perekonomian dunia secara telak. Harga tiket saat ini lebih mahal jika dibandingkan dengan harga yang berlaku di era sebelum COVID. Harga mahal terjadi karena jumlah armada yang terbang lebih sedikit, tetapi permintaan meningkat karena kondisi perekonomian berangsur pulih.
Maskapai penerbangan domestik kini harus bergulat di tengah melonjaknya harga bahan bakar dan suku cadang, serta biaya pemeliharaan dan ongkos sewa. Hal itu terjadi sebagai konsekuensi dari depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat selama beberapa tahun.
Mengenakan bea tambahan tanpa merevisi harga tiket pesawat tertinggi hanya akan memotong margin industri penerbangan yang sudah tercekik. Pada saat seperti ini, sektor transportasi udara membutuhkan dukungan penuh dari negara, dan bukan justru ditambah bebannya.
Kita perlu menyadari bahwa biaya tambahan juga dapat menghambat pemulihan industri penerbangan dari kondisi pandemi yang sempat memukul mereka habis-habisan. Hal serupa juga akan dialami industri pariwisata yang mengandalkan perjalanan udara untuk menghubungkan masyarakat dan destinasi di seluruh nusantara.
Pemerintah juga mempertimbangkan untuk mengenakan biaya tambahan pada harga visa masuk yang harus dibayar oleh warga negara asing.
Biaya visa lebih tinggi menjadi hal yang masuk akal, jika Indonesia sudah menarik banyak sekali wisatawan seperti yang dialami Italia dan Venesia. Biaya visa yang mahal menjadi tidak menarik saat ini, di kala Indonesia masih harus berusaha keras menarik kedatangan wisatawan asing.
Statistik menunjukkan bahwa jumlah kedatangan wisatawan asing meningkat sebesar 38 persen, year on year (yoy), Angkanya menjadi 1,04 juta pada Februari lalu. Kenaikan terjadi, sebagian berkat pemulihan sektor pariwisata. Tahun ini, pemerintah memperkirakan kunjungan wisatawan akan tumbuh antara 9,5 hingga 14,3 juta.
Daripada mengincar isi kantong masyarakat, seharusnya pemerintah memberi insentif bagi industri pariwisata yang sedang stagnan.
Tahun ini, pemerintah hanya mengalokasikan sekitar Rp3,6 triliun ($222,4 juta dolar Amerika) untuk sektor pariwisata. Bandingkan dengan anggaran rata-rata Rp4 triliun selama lima tahun terakhir, selain juga beragam janji dan rencana yang disusun untuk meningkatkan sektor pariwisata dalam negeri.
Selalu ada ruang dalam APBN yang dapat digunakan secara lebih optimal oleh pemerintah. Meminta masyarakat membayar lebih untuk mendukung pembangunan adalah tindakan yang tidak sensitif, mengingat sudah banyaknya pajak yang harus dibayar masyarakat demi mendukung APBN.
Anggaran pemerintah daerah juga demikian. Anggaran tersebut seringkali mendapat sorotan dari Kementerian Keuangan karena terlalu banyak mengalokasikan dana untuk birokrasi dan bukan pembangunan riil. Upaya untuk meningkatkan potensi pariwisata termasuk pembangunan riil yang sering diabaikan.
Belum ada keputusan akhir soal bea tambahan untuk transportasi udara. Namun, sepertinya pemerintah akan melanjutkan rencana tersebut. Pemerintah percaya bahwa biaya tambahan akan menguntungkan masyarakat dan industri pariwisata.
Seharusnya pemerintah memikirkan masak-masak saat merumuskan aturan dana abadi pariwisata, termasuk cara penggalangannya.
Kejelasan dan kepastian sangat penting. Tanpa itu, peraturan ini hanya akan menimbulkan kemarahan dan kebingungan di antara masyarakat. Hal itu sempat kita alami terkait peraturan Menteri Perdagangan tentang pembatasan impor pada penumpang dari luar negeri, yang sempat berlaku beberapa bulan lalu.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.