Sangat naif jika menggagas untuk memperlambat atau bahkan menghentikan perkembangan kecerdasan buatan. Bagaimana pun, dorongan untuk menciptakan alat yang mempermudah hidup adalah sifat dasar manusia.
eberapa tahun berlalu sejak pemerintah mengeluarkan Strategi Nasional AI 2020-2045, dan kita tak kunjung menjadi bijak dalam menangani kecerdasan artifisial, atau artificial intelligence (AI). Upaya untuk mengatur teknologi tersebut di Indonesia masih tak lebih dari sekadar usul pedoman industri dan rekomendasi tata kelola.
Yang kita butuhkan adalah penegakan aturan yang membatasi hal-hal yang dapat manusia lakukan dengan AI. Mungkin juga, kita perlu aturan yang membatasi pengembangan teknologi AI itu sendiri.
Masalahnya, tentu saja, sangat sulit bagi para pejabat kita untuk mengatur sesuatu yang sangat minim mereka pahami, sama halnya dengan pemahaman sebagian besar orang di dunia. Namun, tetap saja kita harus melakukan sesuatu.
Ada cara untuk mengatasi kurangnya pemahaman ini. Titik awal yang baik adalah mempelajari pendekatan yang dilakukan negara-negara lain terhadap isu ini. Kita harus terlibat dalam diskusi multilateral yang menghasilkan praktik terbaik.
Uni Eropa, sebagai negara adidaya dalam bidang regulasi, adalah negara pertama di komunitas internasional yang menetapkan kerangka hukum komprehensif ketika mereka mengesahkan UU AI pada Maret lalu. Pemerintah kita harus membaca dokumen tersebut.
Pendekatan UE mengkategorikan kemungkinan penerapan AI berdasarkan empat tingkat risiko. Kemudian, mereka menetapkan peraturan yang lebih ketat untuk penggunaan yang diyakini berisiko lebih tinggi. Beberapa kritikus berargumentasi bahwa undang-undang UE merupakan peraturan yang berlebihan, tetapi bisa saja yang terjadi adalah sebaliknya.
Pertanyaan mendasar bagi para pembuat kebijakan adalah terkait fokus, apakah pada pengembangan atau penerapan AI.
Perusahaan-perusahaan teknologi berkepentingan untuk membatasi aturan mengenai penerapan AI. Namun, kita tidak menyerahkan keputusan tentang hal-hal tersebut kepada perusahaan-perusahaan teknologi, mengingat dampak dan jangkauannya pada masyarakat luas.
Pada prinsipnya, kita bisa mengajukan tuntutan untuk membatasi pengembangan AI. Bagaimana pun, sebuah penemuan tidak bisa serta merta dibatalkan. Apa yang terjadi jika tidak ada pengembangan nuklir?
Namun dalam praktiknya, gagasan untuk menghentikan atau bahkan memperlambat perkembangan AI adalah hal yang naif. Karena pada dasarnya dorongan untuk menciptakan alat yang mempermudah hidup sudah tertanam dalam sifat manusia.
Seseorang, di suatu tempat, akan memikirkannya, dan orang lain akan mendanai proses pemikiran itu. Jika bukan kita, negara lain yang melakukannya.
Namun kita tidak boleh menyerah dengan mengatakan bahwa AI adalah takdir. Kita masih perlu bertanya, sebagai masyarakat, apakah teknologi baru, baik itu AI, rekayasa genetika, atau bidang lainnya, dapat menciptakan dunia yang lebih baik. Pertanyaan juga perlu diajukan terkait dampak teknologi tersebut, hanya menguntungkan segelintir orang atau berdampak luas.
Terdapat risiko bahwa teknologi AI, yang secara eksponensial meningkatkan produktivitas manusia, akan berkembang begitu cepat sehingga umat manusia tidak dapat mengimbanginya. Jika hal itu terjadi, manusia pada akhirnya kehilangan kendali atas proses tersebut. Akhinrya, kita tidak lagi bisa mengarahkan kemajuan teknologi sedemikian rupa agar memberi manfaat bagi masyarakat luas.
Ini bukan lelucon, sekadar tampilan layar di film Terminator. Ini hal yang sangat serius. Mengatur AI adalah suatu keharusan. Kita tidak bisa santai-santai saja menjelajahi dunia yang tidak kita pahami.
Meskipun kita tidak dapat mencegah perkembangan algoritma AI, kita dapat membatasi informasi apa saja yang dapat mereka akses. Data adalah bahan bakar bagi mesin pembelajaran. Semakin baik data yang dirangkum, semakin baik pula hasilnya.
Data, dalam hal ini, termasuk cara menghimpunnya dari situs web. Masalah ini yang seringkali mengganggu kami, sebagai intitusi media.
Para pembuat kebijakan harus menerapkan mekanisme yang adil. Mekanisme ini dapat memastikan bahwa mereka yang menemukan dan melaporkan berita hasil melakukan wawancara dan investigasi, baik itu di bawah perusahaan formal atau sekadar jurnalis warga, tetap diakui dan diberi kompensasi jika informasi tersebut digunakan orang lain.
Bagaimanapun, merekalah yang mengungkap informasi yang kemudian diproses oleh orang lain.
Penting juga untuk memastikan bahwa tidak ada negara yang tertinggal dalam sesuatu yang terkait senjata di kompetisi AI global.
Amerika Serikat berusaha keras memperkuat kelebihan mereka di bidang ini dengan membatasi akses Tiongkok terhadap microchip dan teknologi canggih. Dua negara tersebut berinvestasi besar-besaran di bidang ini, menggunakan taktik yang tidak mampu dilakukan oleh Indonesia dan negara lain.
Hanya transparansi dan keterbukaan yang akan membuka peluang bagi negara-negara berkembang dan negara-negara yang kurang berkembang, untuk bisa mengimbangi pengetahuan negara adi kuasa. Pemerintah kita harus menuntut hal tersebut, bersama-sama dengan anggota dalam perhimpunan negara Selatan lainnya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.