Penggunaan hak veto lagi tidak hanya akan semakin mengisolasi Washington dari dunia, tapi juga akan melemahkan posisinya sebagai pemimpin global.
srael dan sponsor utamanya, Amerika Serikat (AS), akan semakin dikucilkan ketika opini publik internasional menentang mereka atas praktik genosida yang mereka lakukan. Kini, bentrokan Israel dan Palestina telah masuk bulan ketujuh, dan telah menewaskan puluhan ribu warga Palestina yang tidak bersalah, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Bentrokan berdarah tidak hanya terjadi di Gaza, tetapi juga di wilayah Tepi Barat yang diduduki.
10 Mei lalu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan hak kepada Palestina untuk mengirim perwakilannya ke PBB. Artinya Palestina bisa menjadi anggota penuh PBB. Yang paling penting, pada akhirnya, Palestina bisa bergabung dengan sebuah organisasi global untuk berbicara menentang kekejaman yang telah mereka alami selama beberapa dekade, di bawah pendudukan Israel.
Sebanyak 143 negara memberikan suara untuk resolusi yang memberi hak pada Palestina menjadi anggota dan berhak berbicara di Majelis Umum. Dalam diplomasi PBB, hal ini merupakan kemajuan yang signifikan, karena Palestina telah menyandang status pengamat nonanggota sejak 2012. Keanggotaan penuh, jika terwujud, akan membuat Palestina punya hak pilih. Berjuang mendapat hak pilih akan menjadi laga berikutnya bagi Palestina, dan meski perlahan, kita sedang menuju ke sana.
Resolusi PBB terkait keanggotaan Palestina dilaksanakan dengan dukungan lebih dari dua pertiga anggota Majelis. Artinya, ada cukup suara untuk mengirim rekomendasi kepada Dewan Keamanan, sebagai penentu keputusan akhir terkait pengajuan keanggotaan penuh di PBB.
Sembilan negara menentang resolusi terseut. Namun, selain Israel dan AS, tujuh negara lainnya hampir tidak layak dikomentari. Yang lebih menarik diperhatikan adalah bahwa negara-negara yang pemerintahannya mendukung serangan Israel di Gaza, seperti Perancis dan Australia, justru mendukung resolusi. Inggris dan Jerman, sementara itu, termasuk di antara 25 negara anggota yang abstain. Nampaknya, itu respon mereka terhadap opini publik dalam negeri mereka, yang juga menyerukan agar praktik genosida diakhiri.
Ada keterbatasan dalam praktik diplomasi. Dan resolusi tersebut tidak menghentikan Israel untuk membunuh warga Palestina di Gaza dan wilayah pendudukan lainnya. Namun diplomasi menjadi satu-satunya senjata yang tersedia di PBB. Sayangnya, senjata ini belum tentu efektif.
Beberapa waktu lalu, banyak resolusi Majelis Umum yang menentang Israel, termasuk seruan gencatan senjata. Dan semua diabaikan oleh negara Yahudi tersebut. AS juga berulang kali melindungi Israel dari kritik yang semakin keras, dengan menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan.
Bulan lalu, AS memveto resolusi Dewan Keamanan yang menyerukan pengakuan Palestina sebagai anggota penuh. Resolusi tersebut didukung oleh 12 dari 15 anggota Dewan, termasuk sekutu AS, yaitu Prancis, Jepang, dan Korea Selatan. Sedangkan Inggris dan Swiss abstain. AS memang negara yang paling aneh. Dengan resolusi Majelis Umum terbaru, pemungutan suara lain di Dewan Keamanan akan segera dilakukan. Mari kita lihat suara apa yang akan diberikan AS kali ini.
Penggunaan hak veto lagi tidak hanya akan semakin mengucilkan Washington dari dunia, namun juga akan melemahkan posisinya sebagai pemimpin global. AS bukan lagi negara yang jadi model demokrasi dan tanah kebebasan yang dikagumi dan ingin ditiru oleh negara-negara lain. Terutama setelah negara tersebut memberlakukan undang-undang yang memperluas istilah anti-Semitisme, yang secara virtual menjadikan segala kritik terhadap negara Israel sebagai sebuah tindak kejahatan. Nama AS juga makin tidak populer, terutama setelah polisi membubarkan protes mahasiswa dan perkemahan dengan kekerasan. Hal itu terjadi di kampus-kampus beberapa perguruan tinggi, yang menuntut pemerintah mereka berhenti mempersenjatai Israel.
AS harus menyelesaikan kontradiksinya sendiri. Pada November mendatang, mereka akan memilih presiden yang mereka inginkan. Pengucilan AS akan menimbulkan dampak yang sangat besar, baik bagi AS maupun bagi “dunia bebas” yang dipimpinnya.
Terlepas dari yang terjadi di AS, semakin banyak tekanan bagi dunia internasional untuk lebih banyak mendukung Palestina. Hal itulah yang digaungkan oleh 143 negara di PBB, dan juga di jalan-jalan serta kampus-kampus di banyak negara.
Palestina kini telah mendapat jaminan untuk dapat bersuara di PBB. Makin banyak masyarakat di seluruh dunia yang menyadari perlunya mengakhiri serangan Israel di Gaza. Yang lebih penting dari itu, adalah selamanya mengakhiri pendudukan dan memberikan martabat serta hak bernegara kepada rakyat Palestina.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.