Kurangnya transparansi seputar ketegangan yang terjadi antara Polri dan Kejaksaan belakangan ini hanya menimbulkan kecurigaan bahwa ada sesuatu yang mencurigakan yang ingin disembunyikan pemerintah dari masyarakat.
asyarakat Indonesia dan masyarakat internasional akan sepakat bahwa penegakan hukum yang buruk telah memperlambat perjalanan negara ini menuju negara demokrasi yang kuat. Perselisihan yang terjadi baru-baru ini antara Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) menunjukkan dengan tepat alasan penegakan hukum masih jadi tantangan.
Kekisruhan yang berkembang adalah seputar dugaan adanya penguntitan terhadap Febrie Adriansyah, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, oleh anggota pasukan antiterorisme Densus 88 polisi. Dua petugas Densus 88 dilaporkan mengikuti Febrie ke sebuah restoran di Jakarta Selatan pada 19 Mei. Saat itu, mereka berusaha merekam percakapan Febrie, tetapi lalu melarikan diri setelah dipergoki oleh ajudan jaksa. Salah satu petugas ditangkap dan diinterogasi, tetapi kemudian dibebaskan setelah negosiasi tingkat tinggi.
Tak lama kemudian, Polisi Militer menyatakan memberi perlindungan bagi Febrie, yang saat ini sedang memimpin penyidikan sejumlah kasus korupsi tingkat tinggi, termasuk kasus yang melibatkan perusahaan pertambangan PT Timah. Kasus itu diperkirakan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp271 triliun. Febrie mencuri perhatian media beberapa tahun lalu karena mengadili pelaku praktik korupsi yang membuat bangkrut perusahaan asuransi negara PT Jiwasraya dan PT Asabri.
Prestasi cemerlang Febrie membuatnya disebut-sebut oleh sejumlah politisi sebagai kandidat ideal untuk jabatan Jaksa Agung di pemerintahan mendatang.
Belum ada penjelasan mengenai aksi spionase kemarin, baik dari Kejagung maupun kepolisian. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin terlihat berjabat tangan dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat menghadiri peluncuran GovTech Indonesia di Istana Merdeka, Senin 27 Mei. Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto membantah adanya konflik di antara kedua lembaga penegak hukum tersebut.
Masih di Senin kemarin, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memanggil Burhanuddin dan Listyo sehubungan dengan insiden tersebut. Baik Listyo maupun Burhanuddin mengatakan tidak ada masalah di antara kedua lembaga.
Bagaimana pun, kurangnya transparansi hanya menimbulkan kecurigaan bahwa ada sesuatu yang ingin disembunyikan pemerintah dari masyarakat. Kecenderungan tidak adanya kejelasan ini hanya akan memicu spekulasi lebih lanjut, termasuk memunculkan dugaan bahwa polisi berusaha melindungi individu tertentu dari sorotan Kejaksaan.
Pertikaian antarinstitusi penegak hukum ini sudah pernah terjadi sebelumnya, tidak hanya sekali tapi beberapa kali. Selama kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 hingga 2014, polisi dua kali menolak upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meminta pertanggungjawaban jenderal polisi atas tuduhan korupsi. Perselisihan tersebut dikenal dengan sebutan “hikayat cicak lawan buaya.”
Persaingan sengit terus berlanjut selama pemerintahan Jokowi, seperti yang terlihat pada serangan menggunakan air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan pada 2017. Novel adalah mantan polisi yang bertanggung jawab menyelidiki kasus korupsi yang melibatkan politisi dan jenderal polisi. Pada 2019, dua petugas polisi menyerahkan diri dan mengaku bertanggung jawab atas penyerangan yang menyebabkan Novel kehilangan penglihatan kirinya tersebut.
Seolah-olah mencoba menengahi perselisihan, Jenderal Polisi Firli Bahuri ditunjuk sebagai Ketua KPK pada 2019. Saat itu, upaya politik untuk membungkam lembaga antikorupsi tersebut semakin intensif. Di kemudian hari, KPK kehilangan kredibilitas saat dipimpin Firli, sedangkan Kejagung mencuri perhatian dan mendapat pujian atas kampanyenya melawan korupsi.
Baik polisi maupun Kejagung dikenal karena hubungannya dengan pihak-pihak yang berkuasa. Mereka tampak telah berjuang untuk menegakkan tata kelola pemerintahan yang baik dan menghilangkan hal-hal buruk dalam birokrasi mereka. Segala upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut patut mendapat dukungan publik, mengingat fakta bahwa korupsi telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan.
Dan upaya apa pun untuk menolak penegakan hukum yang dilakuakn Kejagung terkait korupsi merupakan upaya menghalangi keadilan. Artinya, langkah itu harus mendapat hukuman berat jika dilakukan oleh aparat penegak hukum sendiri.
Persaingan kecil antara Kejagung, polisi, dan KPK dalam pemberantasan korupsi bisa menjadi hal yang produktif. Syaratnya, mereka menegakkan hukum hanya berdasar pada upaya menegakkan keadilan, dan bukan untuk melayani kepentingan mereka sendiri atau demi orang-orang tertentu yang berkuasa.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.