Sejak 2010, ekspor gas alam Indonesia terus menurun hingga hampir setengahnya, menjadi 21.463 juta standar meter kubik pada tahun lalu.
ika Indonesia perlu mengimpor gas alam untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat, maka tidak ada yang bisa disalahkan selain diri kita sendiri.
Produksi gas alam cair (yang biasa dikenal sebagai LNG) memang sedikit meningkat pada Oktober tahun lalu, ketika Train 3 mulai beroperasi di fasilitas LNG Tangguh yang dikelola BP. Namun, prospek jangka panjang untuk swasembada komoditas tersebut tidak menggembirakan.
Ekspor gas alam Indonesia terus menurun sejak 2010, hingga menjadi hampir setengahnya. Menurut data Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), tahun lalu angkanya menjadi 21.463 juta standard cubic meters (SCM).
Penurunan ekspor tersebut sejalan dengan penurunan produksi gas yang sama besarnya pada periode yang sama. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, cadangan gas alam di negara ini anjlok. Pada 2010, angkanya 3,068 miliar SCM, tapi menjadi hanya 788 miliar pada 2023.
Sejak 2017, Indonesia selalu gagal memenuhi target pemerintah dalam hal produksi gas. Hal yang sama juga berlaku untuk produksi minyak. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kepada anggota parlemen awal bulan ini bahwa kedua target tersebut kemungkinan besar akan meleset lagi pada tahun ini.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian memperkirakan bahwa permintaan gas industri akan meningkat dua kali lipat hanya dalam waktu enam tahun. Karena itu, Kementerian berencana memperluas jangkauan kebijakan yang membuat komoditas tersebut tersedia untuk sektor-sektor tertentu dengan harga tetap dan bersubsidi.
Karenanya, tidak mengherankan jika pemerintah dan perusahaan minyak dan gas milik negara, Pertamina, berencana membangun terminal regasifikasi LNG. Terminal dibutuhkan untuk menampung gas yang masuk, termasuk dari impor, jika pasokan dalam negeri gagal memenuhi permintaan di masa depan.
Semua ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Tren pasokan dan permintaan jangka panjang cukup mudah untuk diantisipasi. Dengan perencanaan yang tepat waktu serta investasi hulu, sesungguhnya kita tidak perlu membicarakan kemungkinan impor gas.
Demi keadilan, aktivitas hulu telah meningkat selama dua atau tiga tahun terakhir. Mungkin dipicu oleh pemerintah yang memberi pilihan kepada kontraktor untuk memilih jenis kontrak bagi hasil, apakah cost-recovery atau gross-split. Jika bagi hasil dengan pengembalian biaya operasi, kontraktor berhak mendapat pengembalian biaya operasional setelah produksi. Sedangkan dengan kontrak bagi hasil gross-split, kerja samanya dibuat berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi kotor (gross). Selama ini, hal itulah yang jadi keluhan utama calon investor.
Salah satu tonggak sejarahnya adalah bahwa pada Desember lalu, pemerintah menyetujui revisi rencana pengembangan (plan of development atau POD) proyek LNG Abadi di Blok Masela. Proyek ini dipimpin oleh Inpex Jepang.
Urgensi masalah ini tampaknya akhirnya menyadarkan pemerintah, setelah selama ini buang waktu sia-sia.
Selain memastikan iklim investasi hulu yang baik, pemerintah perlu meningkatkan infrastruktur transmisi gas dalam negeri. Di sini aktivitas juga meningkat. Intinya, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Fakta bahwa seluruh industri perlu menyesuaikan diri dari orientasi ekspor ke melayani peningkatan permintaan dalam negeri sudah mudah diprediksi sejak lama.
Pakar teknis perlu menentukan jalur pipa mana yang lebih tepat dibandingkan pengiriman LNG. Pertimbangannya adalah kelemahan LNG secara ekonomi dan lingkungan, yang memerlukan energi ekstra untuk pencairan dan regasifikasi.
Walaupun terminal penerima LNG memiliki manfaat dalam mengakomodasi impor, tetapi rasanya mengecewakan berpikir tentang impor ketika kita mempunyai banyak cadangan potensial yang belum dimanfaatkan. Sebenarnya, cadangan itu bisa dieksplorasi beberapa dekade yang lalu.
Tentu saja, ada yang berpendapat bahwa minyak dan gas saat ini tidak seharusnya menjadi fokus utama kita dalam memenuhi kebutuhan energi negara. Namun, hal itu dilakukan karena dua alasan.
Pertama, gas alam melayani banyak keperluan industri di luar pasokan energi, yang tidak dapat digantikan oleh tenaga surya maupun angin. Misalnya, dalam industri petrokimia, dalam produksi kaca serta bahan konstruksi lainnya, dan bahkan dalam pengolahan makanan.
Kedua, gas dipandang di seluruh dunia sebagai solusi transisi. Hal itu seiring dengan upaya negara-negara untuk meninggalkan sumber energi yang mencemari alam, seperti minyak dan batu bara, ke sumber energi terbarukan. Gas membantu mengatasi masalah intermiten dalam transisi energi.
Beberapa hari lalu, Financial Times menerbitkan sebuah artikel berjudul, “BP meningkatkan perkiraan permintaan minyak dan gas karena peralihan energi ramah lingkungan melambat.”
Bisa saja, atau bahkan seharusnya, hal itu kita sesali. Tapi, mengingat kita masih akan menggunakan bahan bakar, setidaknya biarlah yang kita gunakan adalah milik kita sendiri.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.