Sikap persatuan di antara negara-negara ASEAN tentang LCS dapat memecahkan kebuntuan dalam negosiasi kode etik yang telah lama tertunda dengan Tiongkok.
ebelum meninggalkan jabatannya pada 20 Oktober, Presiden Joko “Jokowi” Widodo punya kesempatan emas untuk membantu mewujudkan perdamaian jangka panjang di Laut Cina Selatan (LCS). Ia dapat bekerja sama dengan Presiden Filipina Ferdinand J. Marcos Jr untuk mewujudkan kode etik khusus di antara negara-negara ASEAN, di laut yang disengketakan tersebut. Kode etik terutama penting bagi mereka yang punya klaim atau kepentingan yang tumpang tindih di perairan yang kaya sumber daya alam tersebut.
Sikap persatuan di antara negara-negara ASEAN tentang LCS dapat memecahkan kebuntuan dalam negosiasi kode etik dengan Tiongkok yang telah lama tertunda. Tiongkok mengklaim hampir seluruh wilayah maritim di LCS. Tidak adanya kode etik telah menyebabkan konflik berulang di antara para penggugat, yang terbaru antara Filipina dan Tiongkok. Konflik tersebut, jika tidak ditangani dengan hati-hati, akan mendorong negara-negara besar untuk ikut campur.
Pada November tahun lalu, Presiden Marcos Jr. telah mengungkap rencananya. Menurutnya, negosiasi kode etik antara Tiongkok dan ASEAN berjalan sangat lambat. Karena itu, perhimpunan negara-negara di Asia Tenggara tersebut perlu menetapkan kode etik internal.
Tentu saja, sebagai bentuk kesopanan, Laos sebagai ketua ASEAN tahun ini harus menerima informasi sebelumnya tentang langkah diplomatik tersebut, sama halnya dengan anggota ASEAN lainnya. Sebuah pertemuan tingkat tinggi khusus di antara negara-negara yang peduli, secara khusus mengenai masalah ini, dapat diadakan di sela-sela KTT Pemimpin ASEAN. KTT serta pertemuan lain dengan para mitra dialog ASEAN di Vientiane akan dilaksanakan pada awal Oktober mendatang.
ASEAN dapat belajar dari Indonesia dan Vietnam dalam menyelesaikan sengketa perbatasan laut. Pada Desember 2022, kedua negara menyepakati batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) masing-masing di bagian utara perairan Natuna. Kesepatan tersebut mengakhiri perundingan yang telah berjalan selama 12 tahun.
Menemukan titik temu soal LCS, termasuk dalam masalah klaim yang tumpang tindih, akan memperkuat posisi tawar ASEAN terhadap Tiongkok. Kurangnya semangat bersatu antaranggota telah menyebabkan lambannya negosiasi terkait kode etik. Anggota ASEAN yang bukan penggugat dan yang tidak berkepentingan di LCS sering kali menjadi penghalang perhimpunan dalam mencapai kesepakatan.
Sebuah KTT mini di antara para pemimpin yang peduli sangat diperlukan untuk menemukan solusi bagi berbagai masalah mendesak yang dihadapi ASEAN, atau masing-masing anggotanya. Dalam kasus sengketa antara Manila dan Beijing di LCS, Filipina sebagai pemrakarsa dapat mengambil peran utama dalam KTT tersebut.
Setelah para pemimpin ASEAN berhasil menyelesaikan perbedaan di antara mereka dan mencapai kesepakatan, langkah selanjutnya adalah mengusulkan pertemuan dengan Presiden Cina Xi Jinping. Di atas kertas, hal ini tampak sangat mudah dilaksanakan. Kenyataannya, usaha kolektif tersebut pasti akan penuh tantangan.
Namun, mekanisme semacam itu bukanlah sesuatu yang baru. Jika terwujud, ASEAN setidaknya dapat membuktikan kemampuan mereka menanggapi klaim sengketa wilayah. ASEAN bisa membuktikan adanya kesalahan pendapat pihak-pihak yang menganggap perhimpunan terlalu lamban bereaksi terhadap sengketa berat sebelah antara anggota kelompok tersebut dan negara adidaya seperti Tiongkok.
Kami minta Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi memanfaatkan momentum pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN minggu ini, juga Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional Forum atau ARF) di Vientiane untuk bekerja sama dengan Menteri Luar Negeri Filipina Enrique Manalo. Mereka harus meyakinkan empat penggugat LCS yaitu Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam, ditambah Singapura, agar berbicara tentang perlunya mewujudkan inisiatif Manila.
Singapura berkepentingan langsung di LCS karena wilayah itu terhubung langsung dengan Selat Malaka, lokasi negara pesisir tersebut. Lebih dari 21 persen perdagangan global melewati selat dan LCS, yang berkontribusi signifikan terhadap ekonomi Singapura.
Indonesia bukan penggugat, tetapi telah berselisih dengan Tiongkok atas kebijakan “sembilan garis putus-putus Beijing” yang tumpang tindih dengan hak kedaulatan Jakarta di perairan Natuna. Beijing bersikeras bahwa perairan tersebut telah menjadi bagian dari wilayah penangkapan ikan bagi para nelayan Tiongkok selama ribuan tahun.
Kesepakatan ASEAN mengenai kode etik LCS akan menjadi titik penanda diplomatik Presiden Jokowi yang masa jabatannya akan segera berakhir, juga bagi kepala diplomatnya Retno. Kesepakatan semacam itu akan menjadi warisan yang akan membantu presiden terpilih Prabowo Subanto mengarungi tantangan yang dihadapi ASEAN di masa-masa mendatang.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.