18 tahun silam, UU Wantimpres disahkan untuk membubarkan DPA. Kini, revisi UU tersebut tengah diburu-buru untuk mengembalikan DPA sebagai lembaga tinggi negara.
enjelang pergantian presiden Oktober mendatang, lembaga politik telah sibuk menyiapkan kekuasaan yang kokoh di bawah pemerintahan baru dengan merevisi beberapa undang-undang (UU) utama. Yang terbaru, yang dikeluarkan atas inisiatif DPR, adalah rancangan amandemen undang-undang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Pada 9 Juli lalu, rancangan ini mendapat dukungan bulat dari sembilan fraksi yang terwakili dalam Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Hanya butuh waktu beberapa jam bagi Baleg untuk mendapat persetujuan. Padahal, revisi UU No. 19/2006 tentang Wantimpres tersebut tidak masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional.
Langkah mendapat persetujuan serupa juga terjadi pada inisiatif DPR untuk mengubah peraturan untuk Kementerian Negara, UU Kepolisian Nasional, dan UU Tentara Nasional Indonesia (TNI). Presiden Joko "Jokowi" Widodo telah menandatangani surat persetujuan untuk memulai pembahasan amandemen UU Kepolisian Nasional. Dan banyak yang meyakini, hanya masalah waktu bagi persetujuan lain Presiden untuk mengubah undang-undang penting lainnya.
Para pialang kekuasaan tidak akan pernah mengungkap motif sebenarnya di balik serentetan amandemen hukum. Namun, draf undang-undang yang diamendemen sudah menyuarakan banyak hal.
Dalam peraturan Kementerian Negara yang baru, jumlah menteri diserahkan pada kebijaksanaan presiden. Saat ini, jumlah menteri dibatasi hingga 34 jabatan. Demikian pula, revisi UU TNI akan mencakup jumlah perwira aktif yang dapat menduduki jabatan sipil, yang saat ini dibatasi hingga 10 lembaga. Jika DPR menyetujui UU Wantimpres, dewan tersebut akan berganti nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan keanggotaannya akan bergantung pada keinginan presiden. Saat ini, anggota Wantimpres ada sembilan. UU baru memungkinkan kepala negara untuk menambah jumlah anggota Wantimpres menjadi sebanyak mungkin.
UU Wantimpres disahkan 18 tahun lalu untuk membubarkan DPA. Namun, revisi UU tersebut kini tengah diburu-buru untuk mengembalikan fungsi DPA sebagai lembaga tinggi negara. Tidak mengherankan jika para kritikus mengatakan bahwa transformasi Wantimpres menjadi DPA akan menandai kemunduran lain bagi demokrasi Indonesia.
Publik mencurigai jika DPA hanya akan menjadi permainan baru bagi Presiden Jokowi yang akan lengser. Dengan mengadakan DPA, ia bisa tetap relevan secara politik setelah menyerahkan kekuasaan kepada Prabowo Subianto, pengganti yang ia pilih dan ia bantu memenangkan pemilihan presiden pada 14 Februari lalu.
Jokowi pernah mengatakan akan kembali ke kampung halamannya di Surakarta, Jawa Tengah, dan menjadi "warga negara biasa" setelah lengser pada 20 Oktober. Tetapi politikus Partai Gerindra Maruarar Sirait, yang dikenal dekat dengan Jokowi, mengatakan bahwa Jokowi mungkin akan duduk di DPA karena hubungannya yang dekat dengan Prabowo.
Setelah tidak berhubungan dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Jokowi telah dikaitkan dengan berbagai partai, termasuk Golkar. Namun, hingga saat ini belum ada petunjuk terkait partai mana yang akan ia pilih. Putra bungsunya, Kaesang Pangarep, kini memimpin Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang merupakan partai minoritas. Sementara menantunya, Bobby Nasution, telah masuk ke Gerindra, setelah dipecat dari PDI-P.
Sebelum DPR mengumumkan inisiatifnya untuk mengubah UU Wantimpres, Prabowo sempat berbicara tentang pembentukan klub presidensial. Menurutnya, klub ini akan menjadi sebuah forum yang menyatukan para mantan presiden Indonesia untuk memberi nasihat kepada presiden aktif tentang berbagai isu nasional. Terlepas dari apakah perubahan UU tersebut memenuhi impian Prabowo atau tidak, agenda legislatif akan memberinya keleluasaan, sebagai presiden, untuk menunjuk sekutu-sekutunya masuk ke jajaran dewan penasihat. Dan sosok yang bisa ditunjuk akan termasuk Jokowi.
Masalah dengan Wantimpres atau DPA adalah apakah presiden akan mendengarkan, apalagi mengikuti, saran para anggotanya. Terutama jika rekomendasi tersebut bertentangan dengan keinginan presiden. Dalam kebanyakan kasus, seorang presiden akan mendengarkan lingkaran dalamnya, yang mungkin tidak duduk di dewan penasihat.
Selama masa jabatannya, Jokowi punya banyak sekutu yang siap dimintai pendapat setiap saat. Mereka ada di berbagai lini, baik di Wantimpres maupun Kantor Staf Presiden (KSP), serta staf khusus serta tujuh staf khusus milenial.
Pada akhirnya, rencana perubahan undang-undang, termasuk UU Wantimpres, akan menjadi bentuk imbal balik bagi mereka yang turut mewujudkan suksesi pemerintahan berikut sebagai kelanjutan dari rezim sebelumnya. Dan imbalan yang dimaksud termasuk pemberian jabatan komisaris di perusahaan milik negara kepada politikus dari partai pendukung koalisi yang berkuasa,
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.