Data ekonomi makro, termasuk tingkat pertumbuhan 5 persen yang telah konsiten kita capai, mencerminkan keadaan ekonomi saat ini tetapi tidak memperlihatkan risiko yang ada di masa mendatang.
earifan konvensional mengatakan bahwa, meskipun Indonesia mungkin dihujani banyak masalah, setidaknya fundamental ekonomi makro negara ini sudah baik.
Bagaimanapun, pertumbuhan ekonomi, kecuali saat pandemi COVID 19, telah bertahan di kisaran 5 persen selama bertahun-tahun. Inflasi terkendali dengan baik. Anggaran negara juga dalam kondisi baik, terutama jika dibandingkan dengan banyak negara lain yang lebih maju, yang harus mengalami defisit keuangan dan utang yang tinggi.
Laporan PDB terbaru, yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Senin lalu, memastikan hal tersebut.
Pada angka 5,05 persen, pertumbuhan tahun ke tahun (yoy) mungkin sedikit melambat pada kuartal kedua. Perlambatan terlihat dari angka yang diukur pada kuartal sebelumnya dan pada periode yang sama tahun sebelumnya. Meski begitu, angka 5,05 persen tetap sejalan dengan tren solid yang sudah biasa kita lihat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berkomentar bahwa angka tersebut menunjukkan “fundamental ekonomi kita masih baik”, didukung oleh “inflasi yang tetap terkendali”.
Memang, inflasi tahunan melambat menjadi 2,13 persen bulan lalu, seperti yang ditunjukkan oleh angka-angka yang dipublikasikan pada awal Agustus.
Kita tidak boleh membiarkan angka-angka ini membuai kita ke dalam keyakinan palsu tentang keadaan ekonomi Indonesia. Angka 5 persen itu didasarkan pada aktivitas ekonomi riil, yang sesungguhnya rentan terhadap perubahan keadaan. Dan beberapa perubahan yang terjadi berada di luar kendali pemerintah.
Salah satu bidang yang menjadi perhatian adalah sektor manufaktur, yang telah lama menjadi sektor yang berkinerja buruk dalam perekonomian Indonesia. Pertumbuhan tahunannya telah melambat dari 4,13 persen pada kuartal pertama menjadi 3,95 pada kuartal kedua. Angka tersebut jauh di bawah pertumbuhan PDB keseluruhan.
Tentu saja, untuk menaikkan angka rata-rata, sektor-sektor lain harus berkinerja jauh lebih baik. Di antaranya adalah sektor transportasi dan pergudangan, yang naik 9,56 persen yoy pada kuartal terakhir, serta perhotelan, naik 10,17 persen yoy.
Namun, manufaktur sangat penting bagi pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Pertama, manufaktur menyumbang sebagian besar ekspor, sehingga sangat penting bagi neraca perdagangan negara dan sebagai sumber pendapatan devisa. Manufaktur juga dapat mengurangi ketergantungan pada impor, yang berdampak sama pada neraca perdagangan.
Lebih jauh, manufaktur mencakup banyak industri padat karya yang menyediakan lapangan kerja formal bagi jutaan orang. Hal ini menguntungkan dari sisi makin luasnya lapangan kerja informal di sektor primer dan kualifikasi tinggi yang sering dibutuhkan di sektor tersier.
Peran penting industri manufaktur bagi negara-negara berkembang dengan populasi yang terus bertambah, membuat angka terbaru indeks manajer pembelian (purchasing managers’ index atau PMI) untuk sektor manufaktur Indonesia menjadi sangat memprihatinkan. Laporan yang diterbitkan awal bulan ini menunjukkan melemahnya aktivitas di sektor tersebut setelah 34 bulan ekspansi.
Pekan lalu, Kementerian Perindustrian mengatakan bahwa jumlah pekerjaan di industri tekstil telah menurun 7,5 persen dari tahun ke tahun. Data tersebut menambah penurunan lapangan kerja secara jangka panjang di industri tersebut.
Data ekonomi makro, termasuk tingkat pertumbuhan 5 persen yang telah kita capai dengan konsistensi yang luar biasa, mencerminkan keadaan ekonomi saat ini. Tetapi angka itu tidak memperlihatkan risiko yang ada di masa mendatang.
Dalam jangka panjang, kita menghadapi masalah yang membingungkan dengan dampak yang makin luas, jauh melampaui urusan ekonomi semata. Satu-satunya yang menenangkan, jika ada, adalah bahwa kita tidak sendirian. Dunia secara keseluruhan belum menemukan cara untuk memastikan bahwa tren saat ini tidak mengganggu stabilitas ekonomi dan masyarakat.
Pekerjaan yang hilang di industri tekstil kita tidak akan kembali. Bagaimana pun, pabrik yang kita butuhkan untuk membuat produk yang kompetitif bagi pasar global hanya akan mempekerjakan sebagian kecil karyawan yang dulunya bekerja di pabrik yang telah tutup tersebut. Hal yang sama berlaku untuk hampir semua industri lainnya, termasuk industri jasa.
Beberapa negara sedang menguji coba taksi tanpa pengemudi, dan tinggal tunggu waktu saja sampai taksi yang sama hadir di Indonesia. Cukup menakutkan membayangkan yang akan terjadi pada ikatan sosial di masyarakat Indonesia jika semua pengemudi taksi daring kemudian tergeser hadirnya taksi robotik.
Bagaimana kita memastikan produktivitas dan lapangan kerja yang berkelanjutan di dunia, jika otomatisasi dan kecerdasan buatan mendorong peningkatan efisiensi yang cepat?
Jika kita tidak bisa mengatasi masalah itu, mengapa kita perlu memikirkan angka pertumbuhan PDB kita? Apakah penting jika angkanya 5 persen atau 6 persen?
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.