Pemotongan gaji akan membebani karyawan di sektor formal. Hal itu tak terelakkan jika pemerintah menambah beban pengeluaran akibat lebih banyak biaya yang harus ditanggung. Di sisi lain, ada potensi bahwa program membuat orang lebih memilih bekerja di sektor informal.
ebanyakan orang akan enggan membiarkan gaji mereka dipotong, demi program pensiun yang disponsori negara. Pemotongan gaji adalah yang paling dihindari saat ini, ketika semua orang mengkhawatirkan daya beli yang melemah.
Di tengah laporan tentang menurunnya jumlah warga kelas menengah di negara ini, pemerintah telah mengumumkan program pensiun wajib yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Program itu mengharuskan karyawan menyisihkan sebagian dari gaji mereka demi dana pensiun dari pihak ketiga, di samping kewajiban bulanan yang telah mereka bayarkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan).
Memang program ini ada baiknya. Program ini akan membantu pekerja mempersiapkan masa pensiun dengan lebih baik. Di bawah sistem yang ada saat ini, para pensiunan di Indonesia harus hidup dengan hanya sekitar 20 persen dana, dibandingkan pendapatan tahunan mereka selama masih bekerja. Angka itu jauh di bawah rekomendasi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), yang sebesar 40 persen.
Namun, pemerintah harus mempertimbangkan untuk menunda program tersebut, serta tidak mewajibkan partisipasi pekerja. Alasannya, satu-satunya target yang tepat untuk program ini kemungkinan besar adalah karyawan di sektor formal. Pasalnya, pendapatan mereka mudah diukur dan dilacak karena kepatuhan mereka terhadap perpajakan dan BPJS.
Pemotongan gaji akan membebani karyawan di sektor formal. Hal itu tak terelakkan jika pemerintah menambah beban pengeluaran akibat semakin banyak biaya yang harus ditanggung pekerja. Di sisi lain, program pensioun berpotensi membuat seseorang lebih memilih tetap bekerja di sektor informal untuk menghindari kewajiban semacam ini.
Hal ini dapat mempersulit upaya pemerintah untuk membalikkan tren yang makin mengkhawatirkan. Menurut data Badan Pusat Statistik yang dikeluarkan Februari lalu, hampir 60 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal.
OJK dan lembaga terkait lainnya masih mengerjakan perincian pelaksanaan program tersebut. Tetapi kita semua paham bahwa akan ada ambang batas pendapatan tertentu yang kemudian membuat karyawan dengan penghasilan minimum sesuai parameter yang ditentukan harus berpartisipasi dalam program pensiu,n itu.
Bagi karyawan yang berpenghasilan sekitar Rp5 juta (atau $326 dolar Amerika) per bulan, program pensiun akan menjadi beban. Banyak di antara mereka yang hidup pas-pasan dengan akses yang terbatas ke jaring pengaman sosial. Fasilitas dari pemerintah hanya tersedia bagi mereka yang benar-benar hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu yang pengeluaran bulanannya kurang dari Rp580.000.
Di negara-negara maju, skema pensiun wajib tersebut disertai dengan jaring pengaman sosial yang memadai. Dan program ini juga mencakup sebagian dari populasi kelas menengah.
Selain itu, skema pensiun Indonesia, termasuk BPJS, mengharuskan pemberi kerja bersama karyawan menanggung persentase tertentu dari iuran bulanan.
Meskipun beberapa perusahaan mapan dan terkemuka telah mempertimbangkan hal ini, para pemilik bisnis lain harus bersiap untuk menyisihkan lebih banyak lagi dana perusahaan. Hal ini dapat mengakibatkan biaya operasional yang lebih tinggi.
Akan lebih bijaksana untuk mengantisipasi potensi risiko. Di antaranya adalah kemungkinan tuntutan karyawan untuk remunerasi tambahan, guna mengimbangi dampak pemotongan gaji terkait program tersebut.
Selain itu, pemerintah sudah siap menerapkan kewajiban iuran bulanan serupa lainnya di tahun-tahun mendatang, yang disebut Tapera. Kebijakan ini mengharuskan karyawan untuk mengalokasikan persentase tertentu dari pendapatan bulanan mereka untuk tujuan kepemilikan rumah. Lagi-lagi, pemberi kerja juga berkewajiban berkontribusi.
Padahal, partisipasi dalam dana pensiun bukanlah usaha yang mudah, karena masih mengandung sejumlah risiko.
Sebagai peserta, karyawan harus terus mengawasi keputusan investasi yang dibuat oleh entitas pengelola dana pensiun, terkait pengembangan aset mereka di dalam perusahaan. Pantauan termasuk soal alokasi sebagian besar aset ini, seperti yang diinvestasikan dalam bentuk saham, yang berpotensi memakan setengah dari total nilai yang disetorkan.
Setelah volatilitas pasar selama COVID-19, banyak orang Indonesia tidak menyadari risiko ini dan tidak dapat menerima kerugian yang terjadi ketika pasar saham anjlok. Hal itu menyebabkan ketidakpercayaan terhadap skema ini. Selain itu, beberapa tahun terakhir muncul beberapa kasus kejahatan keuangan dan kasus salah urus dana pensiun yang menjadi sorotan. Dan terhadap kasus-kasus tersebut, OJK belum memberikan penyelesaian yang memuaskan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.