TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

PPN, pajak yang adil

Kehebohannya terlalu dibesar-besarkan.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, December 3, 2024 Published on Dec. 2, 2024 Published on 2024-12-02T18:59:46+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
PPN, pajak yang adil A customer examines clothes on April 2, 2024, at a shop in Medan central market in North Sumatra. (Antara/Fransisco Carolio)
Read in English

 

Menanggapi luasnya penolakan publik terkait kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN), sejumlah pejabat mengusulkan untuk menunda kenaikan yang telah direncanakan sejak lama tersebut. Kenaikan PPN awalnya akan dimulai setelah pergantian tahun. Kehebohan itu dibesar-besarkan.

Begini, uang yang kita bayarkan dalam bentuk pajak tidak akan hilang, tetapi digunakan pemerintah, mudah-mudahan, untuk kepentingan publik.

Siapa pun yang mendukung program makan gratis andalan Presiden Prabowo Subianto harus paham perlunya pendapatan dalam bentuk pajak tambahan, atau pajak lainnya. Alasannya, makanan gratis pun butuh biaya. Apalagi jika yang disediakan jumlahnya puluhan juta porsi, yang disajikan setiap hari untuk anak sekolah, ibu menyusui, dan wanita hamil.

Lebih jauh, kebanyakan orang hampir tidak akan merasakan kenaikan pajak sebesar satu persen. Dampaknya terhadap daya beli masyarakat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan dampak hal-hal seperti inflasi, juga pertumbuhan upah.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Berbicara tentang inflasi, harga konsumen hanya naik 1,55 persen pada November. Kenaikan tersebut merupakan yang terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir. Karena itu, inilah saat yang tepat untuk memperkenalkan tarif PPN yang lebih tinggi.

Lebih jauh, untuk menjaga agar kebutuhan pokok tetap terjangkau, bahan makanan pokok utama dibebaskan dari PPN di Indonesia. Bahan pokok yang dimaksud termasuk beras, telur, susu segar, beberapa sayuran, dan daging segar.

Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengajukan alasan perlunya langkah menaikkan tarif PPN, sebagai bagian dari rencana menaikkan tarif PPN secara bertahap. Pemerintah menjadwalkan kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 15 persen selama beberapa tahun.

Bahkan PPN lima belas persen pun masih akan tergolong rendah jika dibandingkan dengan banyak negara lain. Hal tersebut dicatat oleh Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Co-operation and Development atau OECD), yang merekomendasikan kenaikan pajak di Indonesia demi meningkatkan pelayanan publik.

Pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih baik dan lebih terjangkau, misalnya, butuh lebih banyak sumber daya dari dana pajak. Perbaikan layanan akan sangat menguntungkan bagi masyarakat yang tidak mampu membayar layanan swasta.

Sebagai pajak, PPN punya beberapa keunggulan.

PPN tidak mudah digelapkan. Wajib pajak perorangan atau perusahaan dapat menggunakan segala macam tipu daya untuk mengurangi beban mereka, misalnya dengan berpura-pura lebih miskin dari yang sebenarnya. Namun, saat seseorang menginginkan televisi baru atau perlu mendapatkan layanan jasa dari suatu industri, mau tak mau, ia harus membayar pajak.

Selain itu, pada umumnya pajak akan membatasi konsumsi pribadi. Memang, kedengarannya menaikkan pajak adalah ide buruk dalam ekonomi yang sangat bergantung pada pengeluaran rumah tangga. Tetapi, alih-alih menggunakan simpanan di bank untuk hal-hal yang sifatnya instan, misalnya belanja barang impor, simpanan itu dalam jangka panjang dapat memperkuat manufaktur dan ekspor dalam negeri.

Yang mendasari kekesalan masyarakat pada rencana kenaikan PPN mungkin karena kenaikan terjadi saat pemerintah sedang mempertimbangkan memberlakukan amnesti pajak lagi.

Memang, menambah beban pajak bagi masyarakat umum, sedangkan di sisi lain membiarkan beberapa orang superkaya lolos dari kewajiban membayar pajak bukanlah hal yang terlihat baik.

Konsep dasar amnesti pajak adalah bahwa hal itu hanya ditawarkan satu kali. Kemudian, siapa pun yang gagal memanfaatkan kesempatan membuka data aset yang disembunyikan akan dijerat sanksi hukum yang tegas.

Menjalankan program amnesti dalam dua atau bahkan tiga kali akan menggagalkan tujuan awal amnesti. Dan argumen pragmatis bahwa amnesti merupakan cara meningkatkan pendapatan negara secara cepat tampaknya tidak cukup sebagai pembenaran atas kebijakan yang sejak awal tidak etis tersebut. Argumen apa pun untuk melakukan amnesti pajak tetap saja tidak benar, tanpa peduli seberapa kuat pemerintah bersikeras mengatakan bahwa amnesti kali ini menjadi benar-benar amnesti yang terakhir kali diberikan. 

Masalahnya, sedikit sekali upaya penuntutan kejahatan perpajakan yang bisa melintasi batas negara. Akhirnya, hal itu tidak memperbaiki persepsi publik bahwa orang kaya bisa bebas tidak melaksanakan kewajiban. 

Persepsi yang salah itu berimplikasi pada kepatuhan pajak secara umum. Seseorang akan lebih cenderung mangkir dari kewajiban membayar pajak, jika merasa orang lain tidak membayar kewajibannya secara adil. 

Faktor lain yang memengaruhi kepatuhan terhadap pajak adalah persepsi masyarakat pada aparatur negara.

Studi empiris telah menemukan bahwa pembayar pajak kurang termotivasi untuk membayar pajak, jika mereka punya kesan bahwa ada penyelewengan penggunaan dana publik, atau terjadi pengelolaan dana masyarakat yang buruk. 

Sangat penting bagi pemerintah untuk bersikap transparan dan bertanggung jawab, agar kekhawatiran semacam itu sirna. 

Konsumen kelas menengah harus diyakinkan bahwa mereka mendapatkan imbalan sepadan dengan uang pajak yang mereka bayarkan. Mereka, yang menghabiskan sebagian besar pendapatan untuk membeli barang-barang yang terkena PPN, harus paham akan mendapat kembali hak mereka dalam bentuk barang dan jasa yang disediakan oleh negara.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.