Kebrutalan polisi baru-baru ini, memperparah keraguan yang meresahkan terkait akuntabilitas polisi dan kemampuan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Adanya kasus terbaru, seorang polisi yang menembak mati koleganya di Sumatera Barat, seharusnya makin memperkuat keyakinan bahwa saat ini negara harus bersikap tegas terhadap institusi bersenjata tersebut.
Kabid Operasi Kepolisian Solok Selatan Ajun Komisaris Dadang Iskandar diduga menembak rekannya sesama polisi, Ajun Komisaris Ryanto Ulil Anshari. Penembakan dilakukan dari jarak dekat, di tempat parkir markas pada 22 November lalu.
Pembunuhan tersebut diduga dipicu oleh penyelidikan yang dipimpin Ryanto terhadap operasi penambangan ilegal di kabupaten tersebut. Dadang dilaporkan memberikan perlindungan kepada para penambang ilegal tersebut. Ia ditangkap saat membawa sejumlah besar peluru, yang cukup bagi para penyidik untuk menyimpulkan bahwa Dadang telah berencana membunuh Ryanto.
Kasus tersebut mendapat perhatian nasional. Organisasi masyarakat sipil dan anggota parlemen mendesak polisi untuk melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap penembakan tersebut. Polisi juga didesak menyelidiki dugaan operasi penambangan ilegal yang tampaknya terkait dengan kasus penembakan. Di Indonesia, terdapat banyak tambang tanpa izin, terutama di daerah terpencil.
Pekan lalu, melalui sidang etik, polisi telah memberhentikan Dadang secara tidak hormat. Lebih jauh, polisi berjanji bahwa penyelidikan pidana mereka terhadap penembakan yang memakan korban tewas itu akan terus berlanjut. Namun, untuk menunjukkan komitmen yang lebih dalam terhadap keadilan, lembaga kepolisian seharusnya memperluas penyelidikan terhadap dugaan operasi penambangan ilegal.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa polisi masih terlibat dalam bisnis-bisnis ilegal. Keterlibatan masih terjadi meski ada upaya reformasi internal, yang diluncurkan setelah jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto pada 1998. Reformasi tersebut berupaya mengubah polisi menjadi lembaga yang lebih bertanggung jawab dan kredibel.
Siapa pun yang meragukan keterlibatan polisi dalam bisnis kelam hanya perlu mempertimbangkan kejadian-kejadian pada 2022. Saat itu, jenderal polisi bintang dua Teddy Minahasa ditemukan menyelundupkan obat-obatan terlarang yang disita oleh Kepolisian Daerah Sumatera Barat, wilayah yang saat itu dalam wewenangnya. Setahun kemudian, ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas kejahatan itu.
Dalam insiden lain di 2022, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi mencurigakan senilai triliunan rupiah yang diduga terkait perjudian daring. Dan transaksi itu termasuk di rekening-rekening bank milik perwira polisi. Kasus tersebut hingga kini belum tuntas.
Kasus pembunuhan di Sumatera Barat adalah kali kedua terjadi pembunuhan sesama perwira polisi, dalam kurun waktu dua tahun.
Pada 2022, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia saat itu, Ferdy Sambo, menembak ajudannya sendiri, brigadir polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat. Ferdy berusaha menutupi pembunuhan tersebut. Akhirnya, jenderal bintang dua Ferdy Sambo dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas tuduhan pembunuhan berencana.
Kasusnya dianggap sebagai skandal terbesar yang melibatkan kepolisian dalam beberapa tahun terakhir. Kepercayaan publik pada lembaga polisi langsung anjlok.
Baru-baru ini, seorang polisi di Jawa Tengah ditangkap atas tuduhan menembak dan membunuh seorang siswa SMA berusia 17 tahun. Sang polisi berdalih membubarkan tawuran. Telah terjadi pula banyak insiden yang melibatkan penggunaan kekerasan tanpa alasan, yang dilakukan polisi terhadap warga sipil. Kekerasan itu dilakukan selama demonstrasi atau bahkan pada acara olahraga atau hiburan besar.
Kebrutalan-kebrutalan itu memperkuat keraguan yang selama ini membayangi terkait akuntabilitas polisi dan kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Sangat diragukan juga kemampuan mereka mengelola penggunaan kekuatan, termasuk senjata mematikan, secara berlebihan.
Menurut data dari kelompok hak asasi Amnesty International Indonesia, polisi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah melakukan sedikitnya 31 pembunuhan di luar jalur hukum sepanjang tahun ini, delapan di antaranya terjadi dalam bulan lalu.
Budaya kekerasan dalam kepolisian tidak pernah ditangani sejak muncul gerakan reformasi pada 1998. Masalah yang berkepanjangan seperti itu menunjukkan adanya faktor sistemik dan struktural.
Seperempat abad lalu, polisi dipisahkan dari angkatan bersenjata. Namun pemisahan itu kini telah mengubah polisi menjadi lembaga yang kuat, yang dengan keras kepala mempertahankan budaya kekerasan.
Serangkaian kasus yang kita saksikan baru-baru ini menjadi pengingat suram, bahwa sesungguhnya tidak ada tindakan serius yang telah diambil untuk mengubah budaya kekerasan dalam kepolisian.
Harus ada reformasi dalam cara lembaga polisi menyelidiki kasus yang melibatkan petugasnya sendiri, serta reformasi dalam memastikan akuntabilitas penggunaan senjata atau kekuatan yang mematikan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.