Korps baru di kepolisian dapat menciptakan kondisi tumpang tindih peran di antara lembaga-lembaga yang ada, dalam menyelidiki kasus-kasus korupsi.
Bulan ini, Kepolisian Nasional berencana memainkan peran yang lebih besar dalam menyelidiki kasus-kasus korupsi, yang selama ini didominasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) bergabung dengan gerakan antikorupsi melalui pembentukan Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) yang baru.
Korps ini merupakan perluasan dari direktorat tindak pidana korupsi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Secara otomatis, personelnya dipindahkan ke korps baru, yang bertanggung jawab langsung kepada kepala polri.
Di antara tanggung jawab utama korps tersebut, termasuk menyelidiki kasus-kasus, melacak, serta memulihkan aset yang terkait dengan kasus-kasus korupsi, juga mencegah korupsi. Korps ini akan punya kesamaan kewenangan, juga pendanaan, dengan KPK dan Kejagung.
Kepala korps tersebut, Inspektur Jenderal Jenderal Cahyono Wibowo, telah berjanji akan menciptakan koordinasi yang lebih baik di antara para penegak hukum. KPK dan Kejagung menyambut baik pembentukan korps polisi baru tersebut.
Namun, korps baru tersebut dapat menciptakan kondisi tumpang tindih peran di antara lembaga-lembaga tersebut, dalam menyelidiki kasus-kasus korupsi.
Tidak ada yurisdiksi yang jelas antara ketiga lembaga tersebut ketika menyelidiki tiap kasus. Satu-satunya pembeda adalah bahwa KPK punya penyidik dan jaksa, seperti Kejagung, sementara polisi hanya memiliki penyidik.
Tumpang tindih yurisdiksi juga memperkuat kekhawatiran tentang kemungkinan adanya kompetisi atau persaingan di antara lembaga-lembaga penegak hukum.
Kita telah melihat pertikaian internal antara polisi dan KPK, juga antara polisi dan Kejagung, di masa lalu.
Gesekan terbaru antara polisi dan Kejagung terjadi awal tahun ini, masih dalam masa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Kericuhan bermula dari dugaan adanya pengawasan terhadap asisten jaksa agung untuk tindak pidana khusus, yang dilakukan oleh anggota regu antiteror Densus 88.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, telah terjadi dua kali pertikaian internal antara KPK dan polisi. Saat itu, KPK memeriksa para jenderal polisi atas dugaan korupsi.
Persaingan ini muncul kembali pada masa pemerintahan Jokowi, ketika KPK menetapkan seorang jenderal polisi sebagai tersangka.
Yang juga belum pasti, apakah korps baru tersebut akan mampu atau bersedia menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan polisi.
Keraguan kita semua menjadi beralasan. Pasalnya, ada beberapa penyimpangan, yang melibatkan polisi, yang masih belum terselesaikan. Contoh penting adalah rekening bank "gemuk" yang mencurigakan milik beberapa jenderal polisi, yang pertama kali muncul pada tahun 2010. Rekening-rekening tersebut merupakan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Tidak seorang pun boleh kebal hukum terkait penyelidikan korupsi.
Fakta bahwa kepolisian bertindak lamban dalam upaya pemberantasan korupsi di masa lalu, memberi kita alasan lain untuk mempertanyakan dampak korps baru tersebut pada pemberantasan korupsi di masa mendatang.
Sebuah studi independen menunjukkan bahwa kepolisian telah menyelidiki lebih sedikit kasus, jika dibandingkan dengan yang dilakukan Kejagung dan KPK. Jumlah yang lebih sedikit itu terutama sebelum amandemen UU KPK tahun 2019, yang melemahkan lembaga antikorupsi tersebut.
Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa jumlah kasus dan tersangka yang diselidiki oleh kepolisian mengalami stagnasi dalam lima tahun terakhir. Total terdapat 730 kasus yang diselidiki oleh kepolisian sepanjang 2023. Bandingkan jumlahnya dengan 1.695 kasus yang ditangani Kejagung.
Kepercayaan juga menipis ketika menyangkut kepolisian, terutama setelah adanya berkali-kali laporan tentang kebrutalan dan impunitas polisi.
Pembentukan korps antikorupsi baru tersebut diamanatkan oleh peraturan presiden yang ditandatangani oleh Jokowi pada Oktober. Aturan disahkan hanya beberapa hari sebelum sang presiden lengser dari jabatannya.
Tidaklah berlebihan jika muncul dugaan bahwa pembentukan korps baru di kepolisian bisa dijadikan dalih untuk merampas lebih banyak lagi kewenangan KPK yang sudah dilemahkan oleh amandemen UU KPK. Amandemen tersebut disahkan DPR dan pemerintahan Jokowi pada 2019.
Pemberantasan kejahatan kerah putih seperti korupsi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai terjadi persaingan antarlembaga, gara-gara tumpang tindih peran.
Membiarkan telalu banyak pihak campur tangan dalam gerakan antikorupsi akan merusak gerakan itu sendiri.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.