Tidak perlu ada rasa malu menaikkan PPN. Tapi, nampaknya, pemerintah kita tidak nyaman pada keputusannya sendiri.
Ada alasan yang bagus untuk setuju (juga untuk menentang) kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar satu poin persentase pada 1 Januari 2025. Tetapi tidak akan ada alasan kuat untuk meragukannya, setelah keputusan dibuat.
Kenaikan PPN menaikkan harga konsumsi. Idenya adalah bahwa konsumen membayar sedikit lebih banyak sehingga negara punya sumber daya tambahan untuk program layanan publik.
Tidak ada yang perlu merasa malu menaikkan PPN. Namun, pemerintah kita tampaknya ragu dengan keputusannya sendiri.
Dalam gaya reaktif, ciri khas pembuatan kebijakan dalam negeri yang telah terjadi selama bertahun-tahun, pemerintah segera mengeluarkan sejumlah besar kebijakan yang disebut "insentif". Insentif dikeluarkan bertepatan dengan diperkenalkannya tarif PPN 12 persen, naik dari 11 persen.
Dan langkah itu adalah tindakan tak jelas yang campur aduk.
Pemerintah dengan gembira mengumumkan akan menanggung tambahan 1 poin persentase PPN atas tepung terigu, gula kemasan, dan minyak goreng Minyakita yang didistribusikan negara. Tetapi, yang ditanggung pemerintah hanya untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Pemerintah juga bermaksud membagikan 10 kilogram beras per bulan kepada 16 juta rumah tangga yang masuk kategori miskin. Tetapi, beras itu dibagi hanya pada bulan Januari dan Februari.
Pemerintah pun menawarkan diskon tarif listrik sebesar 50 persen dalam periode dua bulan yang sama, tetapi hanya untuk rumah tangga yang menggunakan pasokan listrik hingga 2.200 volt-ampere. Kebijakan itu diambil seolah-olah situasi keuangan semua orang akan tiba-tiba membaik pada Maret,
Pembebasan PPN atas pembelian rumah juga diperpanjang, tetapi hanya untuk properti tertentu dan berlaku tidak untuk seluruh harga. Kemudian, pada paruh kedua tahun 2025, pembebasan PPN berlaku hanya untuk sebagian lagi dari harga tersebut.
Masih jadi spekulasi, apakah insentif untuk pembelian mobil merupakan salah satu upaya meringankan dampak kenaikan PPN. Tetapi, pekan lalu, pihak yang berwenang mengumumkan pengurangan sementara pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk pembelian mobil hibrida. Pengurangan adalah sebesar 3 poin persentase, dengan tarif pastinya tergantung pada jenis kendaraan. Kebijakan tersebut hanya berlaku untuk mobil produksi dalam negeri dengan tingkat kandungan dalam negeri tertentu.
Pemotongan pajak penghasilan untuk pekerja, akan diperkenalkan bersamaan dengan kenaikan PPN. Tetapi, pemotongan itu hanya untuk pekerja di sektor industri padat karya dan hanya mereka yang berpenghasilan kurang dari Rp10 juta per bulan. Sementara itu, tahun depan, setengah dari premi untuk asuransi kecelakaan akan ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan. Tapi, hanya selama enam bulan.
Itu baru sebagian kecil dari insentif yang dinyatakan. Mungkin saja akan ada lebih banyak lagi, jika terjadi cukup banyak masyarakat atas beberapa kebijakan.
Dengan semua langkah mitigasi yang diperkenalkan, kita harus bertanya, apakah pemerintah kita yakin bahwa menaikkan PPN adalah langkah yang tepat? Berdasarkan apa yang kita lihat, jawabannya bisa “ya” dan “tidak”, bisa juga dijawab dengan “mungkin”.
Perlu dikatakan terus terang bahwa PPN dimaksudkan untuk membebani konsumen, demi keuntungan negara. Ternyata, sekarang kita punya begitu banyak kebijakan yang membingungkan, sehingga sebagai konsumen kita tidak jelas lagi apakah untung atau rugi.
Cara kerjanya mirip operator jaringan seluler, yang cenderung membuat serangkaian penawaran khusus yang membingungkan untuk paket data dan durasi percakapan per menit. Masing-masing penawaran dikeluarkan dengan syarat dan ketentuannya sendiri. Beberapa eksklusif, tapi beberapa yang lain harus digabungkan. Akhirnya, pengguna tidak lagi paham apakah yang mereka peroleh adalah penawaran bagus atau bukan.
Di sisi lain, selain sisi konsumen, kompleksitas langkah yang diambil pemerintah merupakan masalah yang skalanya lebih besar lagi. Pemerintah terjebak menjadi terlalu terlibat, hingga terasa sangat menggurui, atas pilihan yang diambil konsumen.
Saat ini, lembaga lain akan menanggung sebagian besar pengeluaran yang terjadi. MIsalnya, Badan Urusan Logistik akan menanggung biaya bantuan beras, penyedia listrik PLN akan menanggung biaya diskon listrik, sedangkan BPJS akan menanggung dana pembebasan premi. Tapi, pada akhirnya, biaya tersebut akan tampil di kas negara yang sama.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan bahwa negara dapat mengumpulkan Rp265,5 triliun ($16,73 miliar dolar Amerika) berupa pendapatan dari pajak tambahan, atas barang dan jasa yang tidak terkena kenaikan PPN pada 2025. Itu pun, tanpa memperhitungkan biaya keruwetan administratif dalam melaksanakan semua langkah yang tercantum di insentif tersebut, terhadap populasi sebanyak 280 juta orang.
Kenaikan PPN, yang ada unsur uang kembali, akhirnya jadi harus dibayar cukup mahal.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.