Tujuan hadirnya pemerintahan dan konsolidasi demokrasi yang lebih baik yang diharapkan dari penerapan syarat ambang batas presidensial hampir tidak terpenuhi.
Sebuah hadiah Tahun Baru datang dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis 2 Januari. Setelah kali ke-33 mengajukan permohonan, akhirnya MK menerima argumen bahwa setiap partai politik harus punya kesempatan yang sama untuk mengajukan kandidat calon presiden.
Namun tanpa reformasi elektoral menyeluruh yang menjamin persaingan yang setara, euforia kesetaraan dalam pencalonan akan cepat memudar. Pada akhirnya, kaum oligarki, bukan rakyat, yang akan terus diuntungkan dari demokrasi Indonesia.
MK memilih untuk menghapus aturan ambang batas presidensial berdasarkan suara terbanyak. Dua hakim MK mengajukan perbedaan pendapat, dengan alasan bahwa empat mahasiswa yang mengajukan petisi peninjauan kembali syarat ambang batas tidak punya kedudukan hukum. Kenyataannya, beberapa petisi lain telah diajukan ke MK. Semua petisi tersebut menuntut diakhirinya sistem elektoral yang hanya menguntungkan partai yang kuat.
Syarat ambang batas, yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilihan Umum 2017, mengharuskan partai atau koalisi beberapa partai untuk menguasai 20 persen kursi DPR, atau telah memenangkan 25 persen suara rakyat dalam pemilihan legislatif sebelumnya, agar memenuhi syarat untuk mengajukan calon presiden.
Saat pemilihan presiden langsung pertama pada 2004, ambang batas yang ditetapkan adalah sebesar 15 persen. Ambang batas itu meningkat menjadi 20 persen pada 2009. Syarat tersebut dibuat untuk menghasilkan stabilitas politik di bawah sistem pemerintahan presidensial yang kuat. Diyakini, syarat ambang batas dapat menghindari fragmentasi politik yang berlebihan, sehingga membuat pemilihan umum lebih mudah dikelola. Syarat itu juga memfasilitasi pembentukan suara mayoritas, yang diharapkan berujung pada tata kelola yang efektif.
Namun, banyak yang menganggap sistem tersebut diskriminatif terhadap partai-partai yang lebih kecil, juga pada partai baru. Karena itu, sejak awal, banyak yang menentang syarat ambang batas tersebut. Meskipun perlawanan baru berhasil dua hari yang lalu.
Syarat ambang batas tersebut juga dikecam karena berpotensi mencabut hak pilih kelompok minoritas.
Dalam putusannya, MK sependapat dengan kecemasan pemohon tentang unsur diskriminatif syarat ambang batas dan dampaknya, termasuk fakta bahwa ambang batas telah membuat pemilu menjadi kurang kompetitif dan melemahkan kedaulatan rakyat serta hak-hak pemilih.
“Pada pemilu sebelumnya, partai politik tertentu mendominasi proses pencalonan kandidat, yang membatasi hak pemilih untuk memiliki calon alternatif,” kata Hakim Saldi Isra dalam putusannya.
Pemilu presiden 2014 dan 2019 memaksa pemilih untuk memberikan suara pada satu di antara dua kandidat. Hal itu menciptakan polarisasi menyakitkan, yang butuh waktu lama untuk disembuhkan. Persaingan yang diikuti hanya dua kubu memang mengurangi biaya administrasi, tetapi harga yang harus dibayar negara terlalu tinggi, sebagaimana terlihat dalam kondisi masyarakat yang terpecah-belah sebagai akibat dari pemilu.
Lebih dari itu, janji tata kelola pemerintahan dan konsolidasi demokrasi yang lebih baik, yang diharapkan terjadi dari penerapan syarat ambang batas suara untuk pencalonan presiden hampir tidak terpenuhi. Politik transaksional yang diwujudkan dalam pembentukan koalisi untuk mengajukan calon presiden hanya melahirkan korupsi yang melibatkan politisi, terutama mereka yang berada di sekitar lingkaran kekuasaan.
Demokrasi telah dibajak oleh para elit politik untuk merebut kekuasaan, yang memungkinkan mereka mewujudkan ambisi pribadi dan melayani kepentingan kelompok sendiri, serta kepentingan para penyandang dana. 10 tahun terakhir membuktikan kemunduran demokrasi, bukannya penguatan. Dan supremasi hukum digulingkan oleh supremasi kekuasaan.
Putusan MK baru muncul setelah kerusakan terjadi. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Bagaimana pun, sejauh ini, kita belum menemukan sistem lain yang lebih dapat diandalkan selain demokrasi.
Titi Anggraini, salah seorang pendiri Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang juga mengajukan mosi uji materi terhadap syarat ambang batas, menyebut putusan tersebut sebagai "kemenangan" bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia mengatakan bahwa putusan MK akan memastikan demokrasi yang lebih adil, setara, dan inklusif di Indonesia, karena pemilih akan memiliki lebih banyak pilihan dalam pemilu.
Namun, tidak adanya syarat ambang batas juga berarti terbukanya pasar bebas. Artinya, partai mana pun dapat mengajukan calon presiden siapa pun yang dianggap cocok. Semakin banyak kandidat calon presiden belum tentu semakin baik, jika tokoh yang berkuasa sekaligus kaya raya dapat membeli dukungan dari partai kecil agar dapat mencalonkan diri sebagai presiden.
Revisi UU Pemilu di DPR akan menjadi tantangan tersendiri, terutama karena DPR dikuasai oleh partai-partai yang mendukung pembentukan pemerintahan saat ini. Memang, perjuangan untuk negara demokrasi yang substansial masih jauh dari selesai.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.