Tanggapan pemerintah terhadap pagar bambu "misterius" yang dipasang di lepas pantai Tangerang telah membuat masyarakat bertanya-tanya. Hal itu jadi preseden buruk dalam melindungi masyarakat pesisir dan ekosistem laut kita.
Sejak awal tahun, penampakan pagar bambu sementara yang membentang sepanjang 30 kilometer di perairan pantai Tangerang, Banten, telah mengundang tanya.
Pagar tersebut disebut "misterius" karena tak seorang pun tahu siapa pemasanganya, juga apa tujuannya. Hingga akhirnya sebuah kelompok yang disebut Jaringan Rakyat Pantura mengaku bertanggung jawab atas pagar di kawasan lepas pantai yang luas itu.
Menurut juru bicaranya, masyarakat pesisir di daerah tersebut telah mengumpulkan uang mereka untuk mulai pemasangan pagar sekitar empat bulan silam. Pagar dipasang sebagai upaya melawan erosi pantai. Klaim tersebut langsung diragukan kebenarannya. Pasalnya, diperkirakan mereka butuh setidaknya Rp4 miliar ($244.185 dolar Amerika) hanya untuk membeli tiang bambu dan material lainnya.
Otoritas kelautan dan perikanan, dari tingkat provinsi hingga nasional, langsung menutup pagar tersebut. Mereka pun melakukan investigasi dan menemukan bahwa bangunan tersebut ilegal karena tidak mengantongi izin yang sah, termasuk izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Apalagi, pagar bambu berpotensi membahayakan ekosistem laut setempat.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta otoritas terkait, patut diapresiasi karena bertindak cepat. Namun, mereka berhenti hanya di situ saja dan tidak membongkar bangunan ilegal tersebut. Menteri Kelautan dan Perikanan mengutip persyaratan prosedural untuk mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab atas pembiayaan dan pembangunan pagar tersebut.
Presiden Prabowo Subianto memerintahkan pembongkaran pagar. Sebagaimana disampaikan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Ahmad Muzani, Presiden juga minta dilakukan investigasi untuk mengungkap dalang di balik pemasangannya.
Kendati demikian, insiden tersebut telah mengungkap potensi inkompetensi di kalangan yang berwenang. Ini bukan kali pertama pagar lepas pantai sementara tersebut dilaporkan pada mereka.
Menurut sejumlah media, Dinas Kelautan dan Perikanan Banten menyatakan bahwa mereka pertama kali menerima laporan tentang bangunan itu pada Agustus 2024. Saat itu, pagar baru terpasang sepanjang 7 km. Namun, mereka memutuskan untuk tidak mengambil tindakan apa pun. Tampaknya, alasan keputusan itu adalah karena minimnya rekomendasi dari pejabat kabupaten. Ditambah lagi, tidak banyak aduan dari warga setempat.
Baik Kementerian maupun mitranya di Banten seharusnya bekerja lebih baik dengan meningkatkan pengawasan, serta mengambil tindakan lebih tegas terhadap bangunan apa pun yang didirikan di wilayah pesisir. Sudah tentu mereka harus fokus pada bangunan ilegal.
Jutaan orang tinggal di sepanjang garis pantai Indonesia, yang membentang hampir sepanjang 55.000 km. Sedikitnya, 17 juta di antaranya bergantung pada laut sebagai mata pencaharian utama mereka. Penghalang di lepas pantai yang berdiri tanpa rencana, sewenang-wenang, dan reyot seperti yang ada di Tangerang hanya membuat hidup mereka semakin sulit.
Penyelidikan Kementerian juga mengungkap fakta bahwa pagar bambu tersebut telah mengganggu lingkungan setempat. Pagar juga mengganggu keanekaragaman hayati laut, karena menambah buruknya kondisi makhluk laut yang sudah terancam oleh perubahan iklim.
Bukti-bukti yang dikumpulkan sudah cukup kuat untuk mendesak pihak berwenang membongkar pagar tersebut. Jika pagar tidak segera dibongkar, hal itu hanya akan menimbulkan kecurigaan di masyarakat, yang pada gilirannya akan semakin mengikis kepercayaan publik.
Pengalaman serupa inilah yang dialami pemerintah ketika membenarkan penggundulan hutan untuk mendukung perluasan perkebunan kelapa sawit. Langkahnya memicu kontroversi dan reaksi keras pun meluas.
Setelah tak berdaya di darat, pemerintah punya kesempatan lain di laut. Karena itu, pemerintah harus bertindak tegas terhadap bangunan ilegal apa pun yang didirikan di garis pantai Indonesia yang luas ini. Pemerintah harus tegas, tak peduli alasan pendiriannya dan siapa pun yang berada di belakangnya. Laut dan pesisir kita harus tetap terbuka untuk menjaga kesejahteraan dan mata pencaharian masyarakat pesisir, seraya melindungi keanekaragaman hayati yang terancam hilang.
Membongkar pagar di wilayah laut Tangerang adalah sebuah langkah awal. Jika pemerintah tidak melakukannya, mungkin hanya masalah waktu sampai pagar liar serupa dipasang di lepas pantai nusantara, di wilayah lain. Dan sebelum kita menyadarinya, seseorang akan muncul lalu mengklaim wilayah pantai sebagai milik pribadi mereka.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.