Para peneliti BRIN telah memperingatkan adanya risiko jika pertambangan dikelola oleh entitas yang asing bagi sektor tersebut, misalnya organisasi keagamaan.
Organisasi masyarakat keagamaan, dan sekarang perguruan tinggi, akan diizinkan untuk masuk ke industri pertambangan. Hal itu dimungkinkan berkat revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba), yang inisiatifnya telah diajukan DPR. Memang, inisiatif tersebut tidak menjadi prioritas, dan masih belum ada diskusi publik yang memadai.
Jika disahkan, amandemen keempat Undang-Undang Minerba tersebut akan memberikan konsesi pertambangan mineral dan batu bara kepada lembaga pendidikan tinggi, yang menurut para pendukung RUU akan memberi kemandirian finansial bagi universitas. Meskipun revisi undang-undang tersebut menawarkan sumber pendapatan alternatif bagi universitas, tetap ada biaya yang harus mereka tanggung, dan juga dipikul negara, yang telah diabaikan.
Revisi tersebut mengikuti kebijakan mantan presiden Joko “Jokowi” Widodo yang memberi kelompok muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, izin usaha pertambangan (IUP). Kebijakan itu diumumkan di bulan-bulan terakhir masa jabatannya. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia memastikan bahwa NU akan mengambil alih konsesi tambang yang sebelumnya diberikan kepada PT Kaltim Prima Coal, sedangkan Muhammadiyah akan mengelola tambang yang sebelumnya dikuasai oleh PT Adaro Energy Indonesia.
Dengan lebih dari 3.200 perguruan tinggi yang terdaftar di seluruh negeri, kita dapat membayangkan besarnya dampak RUU tersebut terhadap sektor pertambangan batu bara dan mineral di negara ini. Melihat kerusakan yang ditimbulkan industri ekstraktif terhadap lingkungan, kita juga dapat memperkirakan bahwa kerusakan yang terjadi akan semakin parah.
Ditambah lagi, pemerintah telah berulang kali membanggakan komitmennya, di forum internasional, untuk mencapai emisi nol bersih. Hal itu akan dicapai dengan beralih ke energi terbarukan dan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, termasuk batu bara.
Sejak awal, keputusan pemberian IUP kepada ormas keagamaan telah memicu perdebatan. Para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah memperingatkan risiko yang muncul ketika pertambangan dikelola oleh entitas yang asing bagi sektor tersebut. Dan ormas keagamaan adalah salah satunya.
Pertama, kurangnya pengalaman dan kompetensi dapat menyebabkan praktik pertambangan yang buruk. Hal ini berpotensi merusak lingkungan dan membahayakan keselamatan pekerja.
Kedua, potensi konflik internal yang dapat melemahkan struktur organisasi dan menghambat pelaksanaan kegiatan pertambangan. Ketiga, lemahnya pengawasan dan regulasi, yang dapat menyebabkan praktik pertambangan tidak berkelanjutan, serta kemungkinan terjadi pelanggaran hukum.
Keempat, ketidakstabilan ekonomi daerah jika pendapatan dari kegiatan pertambangan tidak dikelola dengan baik. Kelima, adanya risiko penyalahgunaan IUP untuk keuntungan pribadi, yang dapat memicu korupsi dan penyalahgunaan sumber daya alam.
Risiko yang sama dihadapi oleh perguruan tinggi. Tidak ada bukti bahwa perguruan tinggi dapat mengelola operasional pertambangan secara efektif. Sekalipun mereka mampu mengelolanya sebagai unit bisnis, hal itu mungkin tidak sejalan dengan semangat pendidikan tinggi sebagai lembaga publik yang demokratis.
Integritas pendidikan tinggi dipertaruhkan. Bagaimana pun, IUP yang menggiurkan berpotensi mengubah perguruan tinggi dari lembaga pendidikan dan ilmiah yang berkomitmen untuk kebaikan bersama, menjadi lembaga yang berkarakter korporat dan tunduk pada mekanisme pasar.
Melalui suara-suara kritisnya, perguruan tinggi, seperti halnya ormas keagamaan, mengemban tanggung jawab moral untuk senantiasa mengingatkan para penguasa akan mandatnya dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Di tengah kemunduran demokrasi, IUP untuk perguruan tinggi hanya akan mendukung pemerintah membungkam suara dari kampus.
Mahasiswa menjadi tulang punggung perlawanan masyarakat terhadap berbagai kebijakan publik yang kontroversial, seperti UU Cipta Kerja, revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi, dan KUHP. Publik berharap mahasiswa akan menunjukkan keberanian yang sama dalam menentang revisi UU Minerba, terutama karena elite politik tampaknya cenderung menggunakan tirani mayoritas untuk meloloskan RUU yang kontroversial itu.
Tidak banyak yang dapat kita harapkan dari revisi UU Minerba, kecuali kehancuran keanekaragaman hayati negeri yang kaya ini. Jika UU Minerba akan direvisi, amandemen tersebut seharusnya ditujukan untuk memperbaiki tata kelola pertambangan, bukan untuk mendistribusikan izin sebanyak-banyaknya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.