Pemerintah daerah, dan para pemimpin terpilih mereka, mewakili semangat yang berbeda-beda ini. Mereka menjadi satu-satunya lembaga politik yang boleh berbeda.
Ketika kita mencoba untuk hidup sesuai semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu, saat ini kita mungkin ingin menekankan keberagaman, atau yang berbeda-beda itu, daripada persatuan, mengingat lanskap politik Indonesia. Kita bahkan mungkin ingin mengubah kalimatnya menjadi "berbeda-beda, meskipun satu". Perbedaan di sini bernilai lebih dari sekadar semantik.
Salah satu ciri keberagaman di Indonesia adalah adanya otonomi yang seharusnya dimiliki oleh pemerintah daerah. Namun, kita melihat sinyal bahwa saat ini otonomi tidak lagi dihormati. Buktinya, semakin banyak tanda-tanda bahwa Jakarta memusatkan kembali pemerintahan di ibukota, dengan memberlakukan kembali kontrol yang lebih besar atas pemerintahan daerah.
Setelah pelantikan 961 kepala daerah, yaitu gubernur, bupati, dan wali kota, serta wakil mereka masing-masing, oleh Presiden Prabowo Subianto di Jakarta pada Kamis kemarin, mari kita ingatkan lagi para pemimpin baru ini tentang kekuasaan besar yang mereka miliki berdasarkan Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 2004.
Sungguh tidak dapat dipahami alasan para pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya pada November lalu, harus menjalani gladi bersih yang memakan waktu lama untuk pelantikan mereka di Istana Presiden. Mereka menjadi tamu kehormatan pada hari pelantikan. Dan seusai pelantikan, mereka semua diberangkatkan ke Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah, untuk menjalani retret selama delapan hari.
Mungkin merupakan hak prerogatif Presiden Prabowo untuk mengirim anggota kabinetnya ke kamp pelatihan militer Oktober lalu. Itu pun, hanya tiga hari, artinya lebih singkat dari yang dijadwalkan untuk para kepala daerah. Namun, memberangkatkan pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat ke Magelang, berpotensi mengirimkan pesan yang salah tentang bobot kekuasaan yang ada di tangan pemerintah pusat dan daerah. Fakta bahwa tidak ada satu pun dari pemimpin daerah yang menolak berangkat juga menunjukkan pada masyarakat tentang kualitas dan independensi para pejabat ini.
Tidak ada yang salah dengan menjadikan mereka sebagai peserta latihan kebugaran ala militer, sebelum para pejabat ini memulai pekerjaan mereka. Latihan itu dapat menanamkan disiplin sekaligus menanamkan persatuan dalam kebersamaan. Namun, retret ini terdengar lebih seperti upaya memaksakan keseragaman di daerah-daerah yang selama ini kita akui berbeda-beda.
Retret para kepala daerah memperkuat kekhawatiran yang beredar di masyarakat tentang kemunduran Indonesia dalam hal komitmennya terhadap demokrasi. Tren ini, jika dilanjutkan, dapat menjebloskan Indonesia kembali ke otoritarianisme.
Kita sudah melihat adanya tren militerisme yang makin marak, dengan penunjukan perwira militer aktif untuk jabatan strategis di pemerintahan. Hal itu mengingatkan kita pada dwifungsi militer di masa lalu. Prabowo juga telah mengumumkan rencana untuk mendirikan 100 batalyon Angkatan Darat baru untuk melaksanakan kebijakan yang jadi jagoannya, yaitu memberi makan bergizi gratis kepada anak sekolah, ibu hamil, dan balita di seluruh negeri.
Mengorbankan otonomi daerah akan menjadi pukulan telak bagi demokrasi yang sudah melemah. Lebih jauh, hal itu dapat merusak konsep keberagaman itu sendiri.
Presiden Prabowo telah mengambil alih sebagian besar pusat kekuasaan politik lain di negara ini. Pemerintahan koalisi besarnya mencakup semua kecuali satu partai politik yang terwakili di DPR. Satu-satunya oposisi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, terlalu lemah untuk menahan kekuatan koalisi. Apalagi, koalisi juga mengandalkan dukungan dari kelompok kepentingan khusus seperti kelompok bisnis, kelompok Islam, kelompok militer, dan polisi. Kini Prabowo menyasar para kepala daerah.
Dalam pidatonya, Prabowo pernah menyatakan rasa tidak sukanya terhadap pengaturan otonomi daerah. Ia pun mengusulkan penghapusan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Pemilihan umum langsung diperkenalkan pada 2005 sebagai bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang Otonomi Daerah. Kembali ke pemilihan umum tidak langsung, yang mungkin memberikan kewenangan pemilihan kepala daerah kepada anggota DPRD, akan merampas hak memilih pemimpin dari tangan rakyat.
Kita, orang Indonesia, bangga dengan keberagaman yang kita miliki dan kita lihat sebagai sumber kekuatan kita. Negara Ini berpenduduk 280 juta orang, negara terbesar keempat di dunia, dengan populasi yang sangat beragam dalam hal ras, suku, tradisi, budaya, agama, dan bahasa.
Pemerintah daerah, dan para pemimpin terpilih mereka, mewakili keberagaman ini. Mereka adalah satu-satunya lembaga politik yang bisa melakukannya. Alasannya karena partai politik, menurut undang-undang, harus punya kantor pusat di Jakarta.
Ketika para kepala daerah ini menyelesaikan retretnya dan mulai bertugas minggu depan, mereka harus ingat bahwa komitmen kesetiaan mereka, pertama dan terutama, adalah bagi rakyat yang memilih mereka. Mereka harus ingat bahwa mereka bukan mengabdi untuk para penguasa di Jakarta.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.