Persaingan dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, seperti yang terjadi di dalam perusahaan, yang seringkali tidak dihukum. Bagi konsumen, persaingan akan memastikan mereka dapat membeli produk terbaik sesuai dengan yang mereka bayar.
Mengingat banyaknya kasus korupsi yang mencoreng nama PT Pertamina, jadi tidak mengherankan mendengar Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap skandal impor bahan bakar yang melibatkan petinggi anak perusahaan BUMN tersebut, Pertamina Patra Niaga. Kasua itu diduga telah merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun (11 miliar dolar Amerika).
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said mengatakan bahwa kasus korupsi terbaru yang mengguncang Pertamina hanyalah permainan lama dengan pemain baru. Sudirman pasti paham alasan mengapa korupsi masih saja terjadi di Pertamina, meskipun telah banyak melakukan reformasi. Ia diberhentikan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 2016, bisa jadi gara-gara menemukan praktik mafia dalam operasional PT Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) yang akhirnya dilikuidasi.
Kejagung telah menetapkan sembilan petinggi PT Pertamina sebagai tersangka atas dugaan kolusi dalam manipulasi transaksi impor dan ekspor perusahaan tersebut, pada 2018 hingga 2023. Hal ini melanggar Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang mewajibkan perusahaan minyak dan gas milik negara itu mengutamakan minyak mentah dalam negeri, sebelum mempertimbangkan impor.
Skema yang dilakukan, dan saat ini tengah diselidiki, dilaporkan berawal dari kesengajaan mengurangi produksi di kilang-kilang minyak milik Pertamina. Pengurangan produksi kemudian menciptakan ilusi bahwa minyak dalam negeri sangat sedikit digunakan. Hal ini memberi alasan perusahaan tersebut mengimpor minyak mentah dan produk minyak bumi olahan untuk memenuhi permintaan dalam negeri.
Kejagung juga menemukan bahwa bahan bakar dengan kadar oktan rendah (research octane number atau RON) kurang dari 90 dijual sebagai bahan bakar beroktan tinggi (RON 92) yang lebih mahal, dengan merek Pertamax. Tagihan pengiriman untuk impor bahan bakar juga diduga meningkat antara 13 dan 15 persen.
Kasus korupsi telah lama menodai sejarah Pertamina, imbas dari aset besar yang dikuasainya. Salah satu kasus yang paling menonjol terungkap pada pertengahan 1970-an, ketika Indonesia sedang menikmati kejayaan harga minyak hingga disebut oil boom. Presiden Soeharto saat itu memberhentikan direktur utama Pertamina, Ibnu Sutowo, pada 1976, setelah krisis utang yang menggoncang, dan hampir membuat perusahaan itu bangkrut. Meski ada tuduhan korupsi, Ibnu tidak pernah diadili, sebagian karena hubungannya yang dekat dengan Soeharto.
Dalam tesisnya pada 2016, untuk gelar doktor dari London School of Economics and Political Science, Vishnu Juwono menulis bahwa sebagai bos Pertamina, Ibnu "mengambil peran sebagai pemodal politik presiden, memberikan patronase melalui pembiayaan nonanggaran kepada sekutu mereka di militer, pejabat pemerintah, pengusaha, dan proyek negara, seperti Rumah Sakit Pertamina atau kantor Soeharto, Bina Graha."
Pertamina, seperti halnya perusahaan milik negara yang beraset besar lainnya, merupakan sapi perah bagi elit politik. Itulah sebabnya, para eksekutif puncaknya selalu dipilih dari kalangan aktivis partai.
Semenjak jatuhnya Orde Baru, berbagai langkah reformasi telah dimulai, meskipun lambat, di dalam tubuh perusahaan. Salah satu reformasi yang paling menonjol adalah pembentukan satuan tugas regulasi hulu migas pada 2013. Satuan tugas ini mengambil alih peran regulator yang sebelumnya dimainkan oleh Pertamina. Perombakan tersebut memungkinkan Pertamina untuk fokus hanya pada bisnis. Tetapi, ternyata korupsi di dalam perusahaan masih terus terjadi.
Kemanjuran langkah-langkah reformasi dalam menangani masalah korupsi di Pertamina telah menjadi subjek perdebatan yang cukup panjang. Namun, Sudirman menegaskan bahwa Pertamina rentan terhadap korupsi karena dalam praktiknya perusahaan tersebut memonopoli industri BBM. Perusahaan tersebut, melalui PT. Pertamina Patra Niaga, menguasai 96 persen pasar BBM di Indonesia.
Persaingan dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, seperti yang terjadi di dalam perusahaan, yang seringkali tidak dihukum. Bagi konsumen, persaingan akan memastikan mereka dapat membeli produk terbaik yang sesuai dengan harga yang mereka bayar.
Memang, Pertamina punya kewajiban pelayanan publik untuk menyediakan energi bagi masyarakat. Namun, skandal terbaru menunjukkan bahwa perusahaan tersebut kurang transparan dan akuntabel. Kasus itu juga membuka mata bahwa peraturan yang rumit hanya menciptakan peluang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, telah meminta maaf kepada publik atas kasus korupsi tersebut. Ia berjanji akan mematuhi tata kelola perusahaan yang baik. Dalam beberapa hari atau minggu ke depan, para petinggi Pertamina atau bahkan anggota kabinet, akan diganti. Tetapi, hal itu tidak akan cukup untuk memulihkan kepercayaan publik. Hanya persaingan yang lebih besar dalam penjualan dan distribusi BBM yang dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.