TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Budaya korupsi

Kesejahteraan guru yang diabaikan negara menciptakan lingkungan yang menjadikan praktik tidak etis bukan hanya sekadar pilihan, tetapi, dalam beberapa kasus, praktik yang menyalahi etika merupakan mekanisme untuk bertahan hidup.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, May 2, 2025 Published on May. 1, 2025 Published on 2025-05-01T14:55:51+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Budaya korupsi Protesters carry posters reading “Rigged government posts on top, rigged school admissions on the bottom" on July 7, 2024, to protest against corruption and illegal levies on school enrollment, during Car Free Day (CFD) in Jakarta. (Antara/Asprilla Dwi Adha)
Read in English

 

Jika ada yang bertanya-tanya mengapa pemberantasan korupsi di Indonesia tetap menjadi tantangan yang berat, jawabannya mungkin terletak pada budaya yang dipupuk sejak usia dini di sekolah. Di Indonesia, dalam sistem pendidikan, orang dewasa yang seharusnya menjadi teladan moral, malah menjadi tokoh yang merancang penipuan.

Survei terbaru oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang penilaian integritas pendidikan telah mengungkap temuan yang mengkhawatirkan. Di antaranya adalah plagiarisme yang semakin banyak dilakukan kalangan dosen universitas, terkait dengan publikasi jurnal, serta praktik penipuan oleh guru untuk memenuhi persyaratan sertifikasi agar memperoleh bonus.

Selain itu, survei tersebut mengungkap adanya pola suap yang meresahkan. Guru dan dosen menerima uang sebagai imbalan atas manipulasi nilai atau bayaran untuk memperlakukan siswa secara istimewa.

Sekilah pandang, tindakan tidak etis tersebut bisa jadi terlihat sangat tidak pantas dan salah secara moral. Tetapi, jika ditelusuri lebih lanjut, akan terungkap masalah yang lebih dalam dan lebih kompleks, yaitu pengabaian kesejahteraan guru oleh negara.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Masalah sistemik ini pada akhirnya menciptakan lingkungan yang menjadikan praktik yang tidak etis bukan hanya sekadar pilihan, tetapi, dalam beberapa kasus, menjalankan praktik tak beretika merupakan mekanisme bertahan hidup.

Seperti yang telah ditegaskan Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan, guru adalah peletak landasan pendidikan dan penggerak utama dalam membentuk generasi penerus bangsa. Karena itu, guru layak mendapatkan pengakuan dan penghormatan yang jauh lebih besar.

Kita tidak perlu melihat terlalu jauh untuk mendapat inspirasi. Selangkah saja dari perbatasan, yaitu di Singapura, negara yang dengan sendirinya kini menjadi kekuatan global, profesi guru termasuk yang paling dihormati. Kedudukan guru sejajar dengan profesi terhormat lainnya seperti dokter atau pengacara.

Guru di Singapura pada umumnya mendapat gaji yang baik. Rata-rata mereka memperoleh 4.000 dolar Amerika atau sekitar Rp50 juta per bulan, di samping berbagai tunjangan. Mereka juga punya akses untuk mengembangkan karier profesional.

Yang membuat profesi ini semakin menarik adalah bahwa guru di Singapura dianggap sebagai pegawai negeri sejak mereka mulai menjalani pendidikan. Seterusnya setelah itu, mereka akan menerima gaji bulanan, punya cuti tahunan berbayar, dan mendapat jaminan kesehatan serta asuransi pensiun.

Menurut Singapore National Center for Education, dengan penempatan kerja yang biasanya sudah terjamin setelah pelatihan, mengajar telah menjadi profesi yang sangat kompetitif dan sangat dihormati di Singapura.

Situasinya sungguh kontras dengan di Indonesia. Di sini, sering terdengar cerita tentang guru yang bekerja hanya sebagai pengajar kontrak selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Meskipun sebagian besar guru yang berstutus pegawai negeri telah mendapati bahwa gaji pokok mereka naik berkali lipat berkat makin banyaknya program sertifikasi, beberapa guru yang bukan PNS dilaporkan mendapatkan gaji sangat rendah, hingga hanya beberapa ratus ribu rupiah per bulan. Dan gaji itu sering kali dibayarkan sekaligus setelah tertunda selama berbulan-bulan.

Hal ini membuat profesi guru di Indonesia menjadi kurang menarik, sehingga menghambat ketertarikan kandidat yang berkualifikasi baik pada pekerjaan ini.

Menurut data Programme for International Student Assessment (PISA), program penilaian internasional untuk siswa berusia 15 tahun, Singapura secara konsisten berada di antara negara-negara dengan kinerja terbaik dalam membaca, matematika, serta sains. Sedangkan Indonesia tetap berada di tingkat rendah, di kelompok paruh bawah, dalam peringkat global.

Di luar kinerja akademis, Indonesia juga tertinggal dalam hal ukuran tata kelola yang lebih luas. Dalam pemeringkatan yang dikeluarkan oleh Transparency International Corruption Perception Index (TI CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi, Singapura menduduki peringkat ke-3 sebagai negara bebas korupsi di dunia, dengan skor 84. Sementara Indonesia berada di peringkat ke-99 dari 180 negara, dengan skor hanya 37.

Pada Hari Pendidikan Nasional ini, sudah sepantasnya pemerintah mengambil jeda dan merenungkan apakah kebijakannya telah sungguh-sungguh menangani masalah mendasar dalam kesejahteraan pendidik. Bagaimana pun, masalah itu harus dipikirkan demi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih cerah.

Presiden Prabowo punya visi besar untuk Indonesia Emas 2045. Ia telah berulang kali menyatakan bahwa guru adalah kunci kebangkitan bangsa. Presiden bahkan meneteskan air mata selama perayaan Hari Guru Nasional November lalu, lalu mengakui bahwa ia belum berbuat cukup banyak untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Faktanya, pasti ada ruang untuk bertindak jika Presiden benar-benar berkomitmen memperbaiki masalah ini.

Jika pemerintah dapat menerapkan langkah-langkah penghematan besar-besaran, bukankah seharusnya mengatasi masalah kesejahteraan guru yang sudah berlangsung lama menjadi prioritas utama?

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.