TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Rumah untuk siapa?

Yang kurang dari rencana pembangunan perumahan adalah perbincangan penting tentang desain, akses, dan kesetaraan.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, June 25, 2025 Published on Jun. 24, 2025 Published on 2025-06-24T19:08:02+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
This picture taken on August 4, 2021 shows a housing complex in Jakarta, near the border with a neighboring province. This picture taken on August 4, 2021 shows a housing complex in Jakarta, near the border with a neighboring province. (AFP/Bay Ismoyo)
Read in English

 

Kontroversi terkini seputar program unggulan pemerintah "3 juta rumah" menimbulkan pertanyaan yang sangat mendasar: Inisiatif ini sebenarnya dirancang untuk siapa? 

Premis awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tampak cukup sederhana: Setiap tahun, bangun 2 juta rumah di daerah pedesaan dan 1 juta rumah di wilayah kota. Hal itu merupakan upaya untuk meningkatkan kepemilikan rumah yang semakin menurun, terutama yang menyasar keluarga kurang mampu.

Namun, setelahnya, pemerintah seperti telah kehilangan panduan.

Puncaknya adalah ketika awal bulan ini Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman meluncurkan gagasan membangun unit perumahan seluas 14 meter persegi. Rumah kecil itu memicu skeptisisme mendalam dan rasa frustrasi yang meluas.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Luasan rumah itu tidak hanya menyoroti betapa tidak pekanya para pembuat kebijakan, tetapi juga mengungkap asumsi yang lebih mendasar terkait pengabaian. Program yang dimaksudkan untuk memberi manfaat bagi masyarakat kebanyakan masih terus mengabaikan realitas sehari-hari dari masyarakat yang jadi sasaran. 

Dalam beberapa wawancara di seluruh Jakarta, beberapa keluarga secara terbuka berbicara tentang perjuangan mereka dalam sekadar mendapatkan kualitas hidup yang paling dasar. Mereka ingin ada ruang bagi anak-anak untuk bermain, ruang bagi kerabat yang lebih tua untuk hidup secara bermartabat, dan akses mudah ke tempat kerja serta ke sekolah.

Sementara itu, kelompok advokasi konsumen dan perkotaan mengkritik desain rumah "mini" tersebut karena tidak punya fitur dasar rumah layak huni, seperti pencahayaan dan ventilasi yang memadai.

Program perumahan, sebagaimana adanya, tampak menuntut terlalu banyak pengorbanan dari penerima manfaat yang dituju.

Sudah ada peringatan sebelumnya terkait kebijakan yang mereduksi masalah perumahan menjadi statistik abstrak. Tapi solusi payah yang diberikan menunjukkan bahwa banyak pelajaran yang belum dipahami.

Menurut pihak kelompok industri real estat, pergeseran yang diusulkan, yaitu membangun unit yang lebih kecil dan lebih sempit diperlukan agar kestabilan biaya terjaga. Namun, meski ruang seluas 14 meter persegi dapat membereskan target birokrasi yang dijalankan berdasarkan asumsi pasar, rumah itu tidak banyak membantu para keluarga yang mencari lingkungan hidup layak untuk jangka panjang di pusat kota Indonesia.

Negara harus mampu mendorong reformasi yang mengurangi biaya dan risiko pembiayaan bagi pembeli kelas menengah, serta membuat pinjaman jangka panjang lebih mudah diakses dan diterima.

Ini bukanlah perkembangan baru. Menurut perkiraan resmi, Indonesia menghadapi masalah kekurangan sekitar 15 juta unit rumah. Banyak keluarga tidak dapat mengakses akomodasi yang memadai atau terjangkau.

Harga hunian yang makin tinggi dan pilihan pembiayaan yang terbatas terus mempersulit rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Lebih jauh lagi, pertikaian internal di kantor-kantor pemerintahan menggerogoti kredibilitas pemerintah dalam melayani masyarakat terkait tempat tinggal. 

Sementara itu, terjadi pengabaian terhadap daerah pedesaan dan kota-kota yang lebih kecil, lokasi-lokasi yang juga mendesak membutuhkan perumahan. Hal itu memperkuat persepsi bahwa kebijakan perumahan masih berpusat di Jakarta atau didorong oleh pengembang.

Pendekatan yang lebih efektif adalah dengan memikirkan kembali perumahan sebagai investasi sosial jangka panjang. Perdebatan harus dapat bergerak tidak lagi sekadar soal jumlah unit yang dibangun, serta fokus pada upaya menjadikan unit tersebut layak huni. Ini berarti memprioritaskan adanya ruang tempat keluarga dapat tumbuh dan masyarakat dapat berkembang, sesuai konsep program perumahan perkotaan yang sukses di mana-mana.

Untuk melakukan perubahan ini, diperlukan tingkat kepercayaan dan kolaborasi yang telah lama hilang di antara para pembuat kebijakan, pengembang, dan masyarakat.

Untungnya, di kalangan pendukung pembangunan progresif kota progresif Jakarta, bertumbuh pesat minat terhadap solusi alternatif. Misalnya perumahan yang berkonsep komunitas atau rumah tinggal bersama, dengan penghuni yang bertindak sebagai perencana, pengembang, dan pengelola. 

Sudah terlalu lama, agenda perumahan didominasi oleh pertanyaan tentang efisiensi ekonomi. Diskusi selalu seputar berapa banyak unit yang dapat dibangun serta berapa biayanya. Yang hilang adalah perbincangan yang sama pentingnya tentang desain, akses, dan kesetaraan.

Ketidakpuasan yang dipicu oleh rumah "mini" seharusnya menjadi peringatan bagi pihak berwenang, bahwa perumahan tidak hanya tentang angka, tetapi juga tentang manusia dan tempat.

Peta jalan Bank Dunia baru-baru ini menunjukkan bahwa "perumahan yang mengutamakan rakyat" memang dapat memacu pertumbuhan, jika dilakukan dengan benar. Diperkirakan ada investasi publik sebesar 3,8 miliar dolar Amerika yang menciptakan 2,3 juta lapangan kerja dan memobilisasi modal swasta sebesar 2,8 miliar dolar untuk perumahan.

Sudah saatnya pemerintah mendengarkan lebih saksama, memikirkan kembali pendekatannya, dan membuat kebijakan perumahan yang menghargai kebutuhan dan aspirasi masyarakat, pihak yang katanya mereka layani.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.