Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsPelajaran dari megaproyek IKN dari pemerintahan sebelumnya tidak menjadi pertanda baik bagi proyek "Tanggul Laut Raksasa" yang dihidupkan kembali. Bahkan sebelum berjalan, proyek ini dapat membahayakan tanggul itu sendiri serta masyarakat pesisir di perairan yang seharusnya dilindungi.
Sebagai warga negara kepulauan, kita sering kali kurang memahami, atau bahkan merasa tak berdaya, dengan keberadaan kita yang terikat oleh air.
Memasuki dasawarsa kedelapan sejak kemerdekaan, Indonesia masih menghadapi tantangan yang sama yang berasal dari kondisi geografi laut, jalur air, dan luasan wilayah pesisir yang mencakup sekitar 71 persen wilayahnya.
Sementara sengketa administratif atas pulau-pulau regional terus muncul, tak ada yang dapat menghentikan fakta yang tidak dapat disangkal bahwa Jawa sedang tenggelam. Padahal Jawa adalah pulau terpadat di negara ini, sekaligus rumah bagi pusat politik dan bisnisnya, yaitu Jakarta.
Mungkin mantan presiden Joko "Jokowi" Widodo mencoba menyelesaikan masalah ini dengan sepenuhnya meninggalkan Jakarta, kemudian pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN), ibu kota baru yang dibangun di Kalimantan Timur.
Presiden Prabowo Subianto kini berkuasa, dan ia tampak kurang bersemangat untuk memindahkan ibu kota negara ke Nusantara.
Alih-alih mengalokasikan lebih banyak dana untuk melanjutkan megaproyek warisan pendahulunya tersebut, Prabowo justru menghidupkan kembali gagasan lama untuk membangun "Tanggul Laut Raksasa" guna melindungi sisi pantai utara Jawa, termasuk Jakarta, dari banjir kronis dan penurunan tanah. Tanggul laut tersebut telah dimasukkan dalam daftar baru proyek strategis nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029.
Kedua rencana tersebut, ibu kota baru dan tanggul laut, sangat mahal dan sulit. Dan langkah Prabowo menunda proyek IKN, lalu beralih ke proyek tanggul laut sebagai gantinya, tidak akan membuktikan bahwa ia punya penilaian atau rasa prioritas yang lebih baik jika dibandingkan dengan pendahulunya.
Pantai utara Jawa memang tenggelam, dan sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa Jakarta, yang lokasinya di wilayah barat laut pulau Jawa, tenggelam antara 1 dan 11 sentimeter per tahun. Sementara itu, kota-kota pesisir di Jawa Tengah seperti Pekalongan, Semarang, dan Demak, tenggelam hingga 20 sentimeter per tahun. Situasi ini disebabkan oleh ekstraksi air tanah yang berlebihan, dan, di beberapa daerah, akibat eksploitasi minyak dan gas.
Lebih dari 150 juta orang tinggal di Jawa. Sebagian besar mendiami sepanjang pantai utara pulau tersebut. Dari perspektif ini, membangun penghalang pantai untuk pulau tersebut dapat menjadi tindakan darurat yang mirip dengan proyek-proyek di negara-negara kepulauan Pasifik kecil yang menghadapi berbagai bahaya pesisir. Meskipun untuk negara-negara itu, kondisinya terutama disebabkan oleh perubahan iklim.
Namun, sejauh ini belum ada rencana jelas, selain mengangkat proyek lama terkait tanggul di Jakarta, kemudian menghubungkan tanggul baru tersebut dengan pembangunan jalan tol Semarang-Demak yang sedang berlangsung di Jawa Tengah. Meskipun desain tanggul tersebut belum jelas, proyek tersebut diperkirakan menelan biaya hingga US$80 miliar selama 20 tahun. Sejauh ini, yang sudah diketahui adalah bahwa tanggul akan membentang sekitar 500 kilometer dari Banten hingga Jawa Timur.
Ada pula usulan untuk menggabungkan proyek reklamasi dengan membangun tanggul laut yang sedemikian rupa sehingga layak huni, dilengkapi zona perumahan dan komersial. Pada dasarnya, gagasan ini mengubah seluruh struktur menjadi semacam kota terapung.
Ketika ditanya soal pembiayaan proyek tanggul laut, Presiden mengatakan bahwa uang tersebut harus berasal dari pemerintah pusat dan pemerintah Jakarta. Jawaban itu hanya menimbulkan lebih banyak pertanyaan tentang bagaimana provinsi-provinsi pesisir utara Jawa lainnya dapat berpartisipasi.
Para pemerhati lingkungan telah memperingatkan tentang cetak biru tanggul laut yang lemah, serta dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkannya. Ada lagi potensi kerugian negara jika proyek tersebut gagal. Kekhawatiran ini muncul dari pengalaman gagalnya tanggul laut yang lebih kecil, yang dibangun di Jakarta untuk melindungi Muara Karang dan Muara Angke dari banjir pasang dan penurunan tanah.
Ada juga banyak contoh kurangnya perhatian pemerintah terhadap dampak lingkungan dari megaproyek dan infrastruktur strategis lainnya yang telah menyebabkan bencana. Operasi penambangan termasuk di antara yang baru-baru ini dilaporkan. Bahkan proyek IKN telah menyebabkan masalah sosial dan lingkungan, yang terus menyala, terlepas dari perubahan prioritas pemerintahan Prabowo.
Sederhananya, kita tidak punya cukup uang, atau punya pengetahuan, juga pengalaman, untuk membangun tanggul laut Jawa. Hal itu hanya mungkin terjadi jika Prabowo dan pemerintahannya meluangkan lebih banyak waktu dan pemikiran dalam perencanaannya, serta melibatkan para ahli dan investor. Jika tidak, proyek tanggul laut hanya akan memperkuat persepsi bahwa seorang presiden dapat bertindak sesuka hatinya, tanpa mempertimbangkan biaya dan risikonya.
Jika demikian, kita bisa berakhir dengan memiliki proyek konstruksi besar yang belum selesai pada akhir masa jabatan presiden saat ini. Hanya saja, kali ini proyeknya ada di laut.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.