Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsDanantara dibentuk tidak hanya untuk memberikan bantuan, tetapi juga untuk menghasilkan manfaat jangka panjang bagi negara.
Ketika Presiden Prabowo Subianto menyampaikan gagasan tentang lembaga pengelola aset negara Danantara kepada pendiri Bridgewater Associates Ray Dalio pada Maret tahun ini, ia menggambarkan lembaga itu sebagai institusi yang akan bergerak "cepat" dan "hati-hati." Hal itu menjadi sebuah janji yang berani dari sebuah lembaga yang baru berdiri beberapa minggu sebelumnya. Terutama ketika “cepat” dan “hati-hati” sering kali berjalan berlawanan arah.
Sejak saat itu, para ekonom, investor, dan pengamat pasar dengan cermat mengamati sepak terjang Danantara, yang bagai berakrobat di atas tali. Mereka juga menunggu menyaksikan lembaga tersebut menerjemahkan visi Presiden menjadi kenyataan.
Langkah besar pertama lembaga tersebut terjadi pada Juni, ketika mengumumkan suntikan modal sebesar Rp6,65 triliun (407,4 juta dolar Amerika) untuk maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia. Suntikan modal itu diberikan dalam bentuk pinjaman pemegang saham.
Danantara bahkan mengisyaratkan bahwa total paket pinjaman tersebut bisa mencapai 1 miliar dolar, dengan tahap pertama fokus pada perawatan armada dan kesiapan operasional. Bantuan berlaku bagi Garuda dan anak perusahaannya, penerbangan berbiaya rendah, Citilink. Maskapai penerbangan ini, yang berhenti beroperasi selama pandemi, butuh lebih dari sekadar jam terbang. Mereka membutuhkan waktu dan uang untuk benar-benar dapat mengudara lagi.
Langkah tersebut memberi sinyal adanya strategi subsidi silang di antara badan usaha milik negara (BUMN). Bagaimana pun, dana Danantara berasal dari dividen perusahaan-perusahaan dengan pundi-pundi gemuk seperti bank milik negara pemberi kredit, yaitu BRI dan Bank Mandiri, serta perusahaan induk pertambangan MIND ID.
Dengan melakukan subsidi silang, Danantara membuktikan bahwa mereka memang dapat bergerak cepat. Dalam hal ini, mereka menyalurkan dana hanya lima bulan setelah pembentukannya.
Hal itu sangat kontras dengan sistem sebelumnya. Di sistem lama, BUMN harus mengajukan proposal jika meminta suntikan modal (melalui program Penyertaan Modal Negara atau PMN) kepada Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan DPR. Kemudian, BUMN akan menjalani pemeriksaan yang panjang dan acap kali menerima pendanaan dengan jumlah lebih sedikit dari yang diminta, atau dana yang sudah diberikan ditunda pembayarannya.
Namun kecepatan belum tentu berarti keberhasilan. Danantara juga harus menunjukkan bahwa mereka dapat bergerak dengan hati-hati. Suntikan modal ke Garuda haruslah dilandasi alasan kuat, bukan hanya asal cepat. Toh, birokrasi yang rencananya diabaikan oleh Danantara dirancang untuk mencegah terjadinya salah alokasi dana, pemborosan, dan korupsi. Meski prosesnya lambat, proses birokrasi ini menawarkan transparansi dan tingkat akuntabilitas tertentu. Tentu saja karena dana yang digunakan adalah uang publik.
Tanpa pengawasan parlemen, publik kini hanya punya sedikit ruang untuk mengetahui bagaimana sebuah keputusan dibuat. Danantara harus mengisi celah itu melalui pengungkapan data yang jelas dan proaktif, terutama karena ada perkiraan akan semakin banyak BUMN bermasalah yang mendatanginya. Di antara yang akan datang, termasuk raksasa infrastruktur yang terlilit utang seperti Waskita Karya dan Wijaya Karya.
Asuransi Militer Indonesia (Asabri), yang terlibat dalam kasus korupsi senilai Rp22,78 triliun antara 2019 dan 2021, bahkan telah secara terbuka menyatakan akan meminta suntikan modal Rp2,7 triliun dari Danantara. Suntikan modal itu sebelumnya telah disetujui oleh DPR tetapi belum kunjung cair.
COO Danantara Dony Oskaria juga menegaskan bahwa BUMN tidak akan lagi menerima PMN langsung dari APBN, karena tanggung jawab tersebut telah dialihkan ke Danantara. Perubahan ini tidak mengejutkan, mengingat ruang fiskal pemerintah yang semakin ketat. Lagi pula pemerintah telah memutuskan untuk menyalurkan dividen BUMN, yang sebelumnya masuk ke APBN, untuk Danantara.
Namun, pendanaan tidak boleh dilandasi keputusasaan. Danantara harus memprioritaskan penyelamatan BUMN, jika perlu, yang punya nilai strategis. Danantara bukan hanya membantu BUMN yang sedang mengalami kesulitan keuangan.
Pada akhirnya, lembaga ini tidak dibentuk hanya untuk memberikan bantuan, tetapi juga untuk menghasilkan manfaat jangka panjang bagi negara. Misinya adalah untuk berinvestasi, bukan sekadar menyelamatkan.
Pada Mei, Danantara dan lembaga investasi negara, Indonesia Investment Authority (INA), menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan raksasa pertambangan Prancis, Eramet. MoU ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi investasi dalam rantai pasok nikel, termasuk dukungan untuk industri kendaraan listrik.
Sebulan kemudian, Danantara dan INA mengumumkan kesepakatan untuk mengakuisisi saham pabrik Chlor Alkali dan Ethylene Dichloride (CA-EDC) yang akan dibangun, milik Chandra Asri. Ini merupakan sebuah investasi bersama yang nilainya dapat mencapai hingga 800 juta dolar.
Kesepakatan ini menggembirakan, tetapi mereka harus bergerak lebih dari sekadar membuat dokumen dan mewujudkan hasil yang nyata serta menguntungkan.
"Cepat" dan "hati-hati" mungkin terdengar bagai kontradiksi, tetapi Danantara harus membuktikan bahwa keduanya dapat dijalankan berdampingan. Lebih dari sekadar kata-kata, lembaga tersebut harus menunjukkan uangnya, ke mana uang itu digunakan, bagaimana uang itu dibelanjakan, dan apa yang dibawanya kembali ke negara.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.