Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsWashington perlu menarik investor Indonesia ke negaranya, tetapi dengan ancaman yang mereka lakukan, hasilnya kemungkinan besar justru hal yang sebaliknya.
Konsesi yang ditawarkan kepada Amerika Serikat untuk menghindari tarif impor yang tinggi tidak akan menghasilkan apa-apa, justru hanya menimbulkan rasa jengah.
Pada Senin 7 Juli, dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, Presiden AS Donald Trump melipatgandakan ancamannya untuk mengenakan bea masuk sebesar 32 persen atas ekspor barang-barang dari Indonesia.
Dengan murah hati, Trump memberi kita waktu hingga 1 Agustus untuk mencoba mencegah ancaman itu terjadi dengan, entah cara apa, mengalihkan arus perdagangan dan investasi bilateral agar menguntungkan AS.
Namun setelah batas waktu negosiasi tiga bulan yang sebelum ini ditawarkan Washington ternyata berlalu tanpa ada hasil kesepakatan, seberapa besar kemungkinan bahwa beberapa minggu lagi situasinya akan berbeda?
Jika pasar saham yang acuh tak acuh menjadi indikasinya, peringatan terbaru Trump tidak ada artinya.
Kita telah mengusulkan pengurangan tarif impor untuk barang-barang dari AS, pembelian lebih banyak produk ekspor AS seperti bahan bakar, kedelai, dan pesawat Boeing, serta memfasilitasi operasional perusahaan-perusahaan Amerika di negara ini melalui deregulasi, termasuk pengurangan persyaratan kandungan lokal.
Semua itu tampaknya tidak mengesankan Washington. Karena itu, Jakarta harus bertanya pada diri sendiri apakah cara yang diambil untuk menanggapi pengumuman tarif AS pada April lalu sudah tepat.
Mungkin sikap yang lebih tegas akan lebih efektif. Kita punya waktu hingga akhir bulan untuk mencobanya.
Sikap yang lebih tegas dapat diambil dengan menekankan prinsip-prinsip ekonomi global yang disepakati. Dalam prinsip tersebut, setiap pembatasan perdagangan lintas batas harus sejalan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia, dan keputusan investasi tidak boleh dipaksakan.
Hal ini dapat dikomunikasikan kepada pihak AS, disertai penilaian kritis pada negara sendiri. Bagaimana pun, beberapa kebijakan proteksionis kita mungkin juga tidak sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi global tersebut. Tapi, hal itu tidak lantas memberi hak bagi Washington untuk mengenakan bea masuk setinggi langit.
AS tidak dapat menyalahkan Indonesia, atau negara lain mana pun, atas defisit perdagangan nasionalnya. Toh defisit tersebut merupakan hasil dari model ekonomi yang diterapkan Washington selama beberapa dekade.
Status dolar sebagai mata uang yang mendominasi cadangan global, yang secara aktif diperkuat oleh pemerintahan AS sejak dulu, memastikan adanya permintaan terus menerus atas obligasi Treasury, dan dengan demikian menjamin biaya pinjaman yang rendah. Hal itu memungkinkan Amerika untuk membelanjakan dana lebih dari batas kemampuannya hingga akhirnya mengalami defisit perdagangan yang besar.
Hal-hal tersebut berjalan baik selama beberapa dekade, mendorong konsumsi di AS dan mendukung produksi di tempat lain. Tetapi, kelayakannya semakin diragukan. Tumpukan utang AS yang terus bertambah menyebabkan investor global mencari tempat lain untuk mendapat imbal hasil yang lebih stabil, dan penggunaan dolar sebagai alat geopolitik justru merugikan dari sisi permintaan.
“Negara ini akan bangkrut. Jika kita tidak mengambil tindakan, dolar tidak akan bernilai apa pun,” kata Elon Musk kepada podcaster Joe Rogan pada November tahun lalu. Ia mengatakannya beberapa minggu sebelum menjadi penasihat senior pemerintahan Trump, dengan fokus kerja pada pemotongan biaya pemerintah.
Dengan tarif proteksionis dan kebijakan investasi yang boros, pemerintahan Trump mencoba mengulangi strategi ekonomi industrialisasi melalui penambahan produksi dalam negeri. Langkah ini merupakan sebuah upaya kolosal yang bukannya tanpa risiko.
Tapi apa hubungan semua itu dengan Indonesia?
Dalam suratnya kepada Prabowo, yang mirip dengan surat yang dikirimkan kepada banyak pemimpin dunia lainnya, Trump mengatakan bahwa, "tidak akan ada tarif jika Indonesia, atau perusahaan-perusahaan [di Indonesia], memutuskan untuk membangun atau mendirikan pabrik produksi di Amerika Serikat."
Faktanya, surat tersebut tidak merinci besaran investasi yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan tersebut. Lagipula, keputusan semacam itu akan bergantung pada para pengusaha Indonesia, bukan pemerintah.
Washington perlu membujuk para pengusaha tersebut agar berinvestasi. Tetapi, nada ancaman kemungkinan akan menghasilkan yang sebaliknya. Adanya ancaman justru dapat memaksa perusahaan Indonesia yang ingin memperluas jangkauan mereka di luar negeri untuk mencari pasar selain AS.
Lagipula, kita tidak punya banyak industri yang bergerak di bidang yang diharapkan AS. Menurut Reuters, Trump sendiri pada Mei lalu mengatakan bahwa kebijakan tarifnya ditujukan untuk mendorong produksi tank dan teknologi dalam negeri, bukan memperbanyak sepatu kets dan kaos.
Kita tidak akan mampu menyelesaikan masalah utang atau defisit AS. Kita sendiri sudah punya cukup banyak masalah ekonomi yang harus kita hadapi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.