TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Korban Kekuasaan

Peristiwa seperti di Garut, sebuah pernikahan yang jadi panggung politik, menyalahgunakan popularitas sebagai legitimasi. Dalam insiden itu, kerumunan besar tidak dikelola, tapi hanya dihadirkan sebagai pencitraan.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, July 25, 2025 Published on Jul. 24, 2025 Published on 2025-07-24T16:56:12+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
People are seen at the square of Garut, West Java, on July 18 after a deadly stampede at a public event to celebrate the wedding of Garut deputy regent Putri Karlina and Maula Akbar, the eldest son of West Java Governor Dedi Mulyadi. People are seen at the square of Garut, West Java, on July 18 after a deadly stampede at a public event to celebrate the wedding of Garut deputy regent Putri Karlina and Maula Akbar, the eldest son of West Java Governor Dedi Mulyadi. (Kompas.com/Ari Maulana Karang)
Read in English

 

Pekan lalu, sebuah pesta pernikahan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, dengan tragis mengakibatkan kematian seorang gadis cilik, seorang nenek, dan seorang polisi. Acara yang dimaksudkan untuk merayakan pernikahan Maula Akbar, putra Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dengan Putri Karlina, putri Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto tersebut, digelar di sebuah pendopo milik negara dan dipromosikan sebagai pesta rakyat.

Undangan disebarkan secara terbuka, para pengisi acara dihadirkan dari mana-mana, dan sumber daya negara dimanfaatkan, meskipun biayanya ditanggung penyelenggara. Namun, perayaan itu berubah menjadi tragedi ketika terjadi desak-desakan, yang mengakibatkan kematian. Insiden ini seharusnya mendorong pemikiran yang lebih dalam di kalangan masyarakat, tidak hanya atas adanya nyawa yang hilang seketika tetapi juga atas perilaku para politisi di negara ini yang semakin memprihatinkan.

Vania Aprilia, 8 tahun, Dewi Jubaedah, 61 tahun, dan Brigadir Kepala. Cecep Saeful Bahri, yang telah menerima kenaikan pangkat menjadi Aipda (anumerta), bukanlah sekadar data statistik.

Mereka adalah manusia yang tertarik terlibat perayaan publik yang diselenggarakan oleh para pemimpin yang mereka pilih. Para pemimpin itu adalah orang-orang yang punya sarana dan kuasa untuk menjamin keselamatan mereka, tetapi tidak melakukannya.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Pejabat publik, terutama mereka yang dipercaya memegang jabatan besar seperti gubernur atau pimpinan kepolisian, tidak boleh memperlakukan kepercayaan publik sebagai aset pribadi.

Namun, inilah yang terungkap dari tragedi Garut: budaya impunitas. Di dalamnya, jabatan, fasilitas, dan personel negara digunakan begitu saja untuk kepentingan pribadi, meskipun dibungkus dengan judul pesta rakyat. 

Gubernur Dedi awalnya mengklaim telah memperingatkan agar tidak mengadakan acara tersebut. Namun, video dari kanal YouTube-nya sendiri menyampaikan hal yang sebaliknya. Di video itu, Dedi dengan sengaja mempromosikan pesta rakyat tersebut, seraya bercanda bahwa putranya punya "banyak penggemar". Ia mengundang masyarakat untuk "makan sepuasnya, nonton sepuasnya, dan tertawa sepuasnya".

Semua orang di Indonesia tahu bahwa pernikahan adalah momen istimewa bagi orang tua, seistimewa maknanya bagi calon pengantin.

Ketika pesta berubah menjadi insiden mematikan, tanggapan resmi segera mengutip soal prosedur standar operasional (standard operating procedures atau SOP). Polisi bersikeras bahwa penyelenggara telah mengajukan izin dan telah dilakukan penilaian risiko. Polisi mengerahkan lebih dari 400 personel.

Namun, justru hal itu memperdalam kekhawatiran kita semua. Jika SOP telah diikuti dan masih terjadi tragedi, bisa jadi SOP tersebut telah dilanggar atau memang tidak pernah dimaksudkan untuk ditegakkan di luar aturan tertulis.

Kejadian ini bukan satu-satunya peristiwa. Insiden Garut merupakan bagian dari pola yang lebih luas, yang memperlihatkan bahwa kehidupan politik di Indonesia semakin ditentukan oleh popularitas sebagai tontonan publik dan bukannya berpegang pada unsur pelayanan publik.

Kita hanya perlu sepintas melakukan pencarian daring untuk menemukan contoh unggahan media sosial yang berlebihan terkait sepak terjang birokrat kaya yang mencurigakan.

Acara seperti pesta pernikahan di Garut ini menjadi panggung politik. Di situ, popularitas disalahartikan sebagai legitimasi. Kerumunan masyarakat tidak dikelola, mereka diundang demi pencitraan. Inilah model kepemimpinan yang lebih menekankan pamer pamor tapi mengecilkan tanggung jawab.

Baru-baru ini, seorang penulis opini secara tepat menunjukkan dalam komentarnya, "yang terpenting bukan soal meninggalnya korban, tetapi bahwa mereka meninggal dalam perayaan kekuasaan".

Bobot pernyataan kritis itu tidak main-main. 

Di negara besar yang seringkali mengorbankan keselamatan publik demi keuntungan politik, kita tak boleh begitu saja menormalisasi kematian yang sebenarnya bisa dicegah.

Kita hanya bisa berharap insiden ini menjadi peringatan bagi para elit politik di seluruh negeri.

Popularitas bukan alasan untuk bertindak gegabah. Jabatan bukan izin untuk merasa berhak melakukan apa saja. Di balik kekuasaan yang besar, terdapat tanggung jawab yang besar, terutama jika jabatan itu diumumkan secara terbuka.

Kami mendesak Polda Jawa Barat untuk melanjutkan penyelidikan secara transparan dan tanpa rasa takut atau bersikap tebang pilih. Pertanyaan yang harus dijawab: Apakah ada tekanan untuk mengizinkan penyelenggaraan acara tersebut meskipun ada risiko? Apakah petugas sudah dilatih secara memadai untuk mengendalikan massa? Apakah protokol keselamatan direkayasa mengingat besarnya jumlah hadirin karena terdorong oleh undangan gubernur sendiri?

Harus ada pengawasan independen, perencanaan yang transparan, dan akuntabilitas publik ketika tragedi terjadi.

Tidaklah cukup hanya memberi dana ganti rugi atas cedera atau kehilangan nyawa. Masyarakat harus tahu bahwa pemimpin mereka bukan sekadar sosok penghibur, tetapi penjaga hidup dan martabat.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.