Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsSerangan terhadap kelompok agama minoritas merupakan manifestasi dari sistem yang rusak dan bias. Sistem tersebut gagal melindungi hak-hak semua warga negara secara setara.
Setelah berbulan-bulan membisu dalam menghadapi makin maraknya kekerasan terhadap pemeluk agama minoritas, Menteri Agama Nasaruddin Umar akhirnya bersuara. Ia menyatakan penyesalannya atas penyerangan terhadap sebuah rumah ibadah Kristen di Padang, ibu kota Sumatra Barat. Insiden itu terjadi baru-baru ini.
Dalam insiden yang terjadi pada sore 27 Juli itu, terlihat massa merusak sebuah fasilitas yang digunakan untuk pendidikan agama. Kerusakan yang diakibatkan serangan itu meluas hingga jauh ke luar bangunan.
Anak-anak yang pada saat itu sedang mengikuti kelas tidak hanya mengalami cedera fisik tetapi juga trauma psikologis yang mendalam. Gambar dan kesaksian dari tempat kejadian menunjukkan betapa besar ketakutan dan ketidakamanan yang kini menghantui komunitas agama minoritas di Sumatra Barat. Provinsi tersebut sering disebut sebagai salah satu wilayah paling tidak toleran di Indonesia, negara mayoritas muslim yang beragam ini.
Menanggapi serangan tersebut, Nasaruddin berjanji akan mengirimkan tim ke Padang untuk menyelidiki apa yang ia sebut sebagai kemungkinan "kesalahpahaman". Ia tekankan bahwa insiden tersebut telah "mencoreng citra negara" sebagai bangsa yang damai dan toleran.
Nasarudin, yang juga pendiri organisasi lintas agama, Masyarakat Dialog Antar Umat Beragama (MDA), berharap serangan ini akan menjadi yang terakhir. Namun, harapan dan kata penyesalan saja tidak lagi cukup.
Insiden Padang terjadi hanya sebulan setelah serangan serupa di Sukabumi, Jawa Barat. Daerah tersebut sering ditandai oleh kelompok hak asasi manusia sebagai wilayah yang memusuhi praktik keagamaan pemeluk agama minoritas. Dalam kasus terbaru, sebuah retret pemuda Kristen yang diadakan di sebuah rumah pribadi diganggu dengan kekerasan oleh warga setempat, yang mengakibatkan perusakan dan intimidasi serupa dengan yang di Padang.
Para pelaku tindakan semacam itu seringkali membenarkan perilaku mereka dengan mengklaim bahwa mereka sedang menegakkan "ketertiban umum", terkait pertemuan pemeluk agama yang menurut mereka ilegal. Namun, klaim semacam itu mencerminkan masalah struktural yang jauh lebih mendalam, yaitu bahwa di banyak wilayah Indonesia, hampir mustahil bagi agama minoritas untuk mendirikan rumah ibadah resmi secara legal.
Mereka tidak punya banyak pilihan selain berkumpul di rumah-rumah pribadi atau tempat-tempat darurat. Kemudian tempat-tempat itu menjadi sasaran perusakan, dengan dalih pelanggaran hukum atau kesalahan prosedural.
Masalah ini berakar pada Peraturan Bersama Menteri tahun 2006 yang kontroversial. Peraturan tersebut yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, yang menetapkan persyaratan yang memberatkan dalam membangun rumah ibadah.
Kelompok agama harus mengumpulkan tanda tangan dari setidaknya 60 orang yang berbeda keyakinan. Lalu, mereka harus mendapatkan izin resmi dari pemerintah daerah dan kantor urusan agama. Di daerah-daerah dengan sikap intoleransi beragama yang mengakar, proses ini bukan hanya sulit; tetapi praktis mustahil.
Peraturan tersebut telah lama dikritik karena diskriminatif. Aturan itu juga tidak sejalan dengan jaminan konstitusional Indonesia tentang kebebasan beragama. Alih-alih memfasilitasi koeksistensi, peraturan tersebut justru memberdayakan mayoritas untuk memveto hak-hak minoritas. Hal ini memupuk kebencian, memicu perpecahan sosial, dan, seperti yang ditunjukkan oleh insiden-insiden yang terjadi baru-baru ini, menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya kekerasan.
Serangan-serangan ini bukan sekadar "kesalahpahaman." Serangan-serangan ini merupakan manifestasi dari sistem yang rusak dan bias, yang gagal melindungi hak-hak semua warga negara secara setara.
Jika pemerintah serius mencegah serangan lebih lanjut, pemerintah harus bertindak lebih dari sekadar mengeluarkan pernyataan penyesalan. Pemerintah harus bertindak segera. Mereka harus membongkar peraturan yang diskriminatif, mengadili orang-orang yang menghasut atau melakukan kekerasan, dan memastikan bahwa setiap warga negara—apa pun agamanya—dapat beribadah dengan aman dan bebas.
Pendahulu Nasaruddin, Yaqut Cholil Qoumas, pernah berjanji untuk merevisi atau mencabut SKB tahun 2006. Tetapi, janji itu tidak terpenuhi.
Kini, Nasaruddin punya kesempatan krusial untuk mengganti kebijakan tersebut dengan kebijakan yang menegaskan adanya kebebasan agama, dan bukannya kebijakan yang membatasi praktik keagamaan.
Penegak hukum juga harus melakukan tugasnya. Mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan di Padang, di Sukabumi, dan di tempat lain harus diadili atas pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar.
Sebagai pemimpin nasional, Presiden Prabowo Subianto juga harus menegaskan posisinya. Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dilindungi oleh konstitusi. Upaya mempertahankan hak tersebut tidak boleh diganggu gugat. Sikap diam atau ambigu dari pejabat tertinggi hanya memperkuat persepsi bahwa negara tidak hadir, acuh tak acuh, atau bahkan terlibat. Dan persepsi ini muncul baik di kalangan korban maupun pelaku.
Kata-kata saja tidak akan mencegah terjadinya penyerangan berikutnya. Hanya tindakan tegas dan bermakna yang dapat membendungnya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.