Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsTidak hanya itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, semua album, apakah berisi single satu lagu atau kompilasi, mahakarya seniman besar hingga lagu-lagu pop ringan yang cepat berganti, kini tersedia secara gratis.
Di atas kertas, layanan streaming seperti Spotify, Apple Music, dan YouTube Music memecahkan banyak masalah, terutama bagi penggemar musik. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, semua rekaman lagu-lagu tersedia dalam perangkat genggam. Penggemar dapat membawanya di saku mereka dan dapat mendengarkan yang mereka mau hanya dengan satu tombol klik.
Tidak hanya itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, semua album, apakah berisi single satu lagu atau kompilasi, mahakarya seniman besar hingga lagu-lagu pop ringan yang cepat berganti, kini tersedia secara gratis.
Para penggemar musik tentu dapat berargumen bahwa biaya langganan bulanan sebesar Rp50.000 (3 dolar Amerika), untuk layanan streaming Spotify atau Apple Music, dibayarkan dengan imbalan kesempatan menikmati album atau lagu favorit mereka di platform tersebut.
Namun, jika pembayaran dengan jumlah yang sedikit itu memungkinkan akses ke lebih dari 100 juta lagu di Spotify, artinya para penggemar musik hanya membayar sepersekian sen per streaming.
Dan di sinilah masalah dimulai bagi para musisi, pemilik label musik, perusahaan rekaman, dan semua orang yang mata pencahariannya bergantung pada stabilitas aliran uang dari dunia musik.
Sudah banyak berita-berita yang terdokumentasi soal layanan streaming, juga seluruh bisnis musik yang bermigrasi ke internet, telah menyebabkan para artis dan musisi menjadi miskin papa. (Masalah lainnya adalah bahwa layanan streaming, terutama Spotify, dipenuhi oleh musisi "zombie" dan musik yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan atau AI. Artinya para artis dan musisi pun harus berkompetisi “melawan” teknologi).
Kecuali Anda adalah Taylor Swift, Billie Eilish, atau Coldplay, rata-rata peluang musisi untuk terdongkrak oleh algoritma layanan streaming hingga bisa sampai ke posisi puncak amat sangat kecil sekali. Seringkali, sang artis hanya mendapatkan $0,0003 per streaming, alias sekitar Rp15 saja.
Dengan kondisi format rekaman fisik yang menjadi usang sejak hadirnya layanan streaming, label musik dan artis kehilangan sumber pendapatan utama mereka.
Masa-masa ketika band atau penyanyi bisa menjual jutaan rekaman sudah berlalu. Bahkan di dalam negeri, sudah 20 tahun yang lalu sejak band seperti Sheila on 7 atau Peterpan (yang sekarang menjadi Noah) berhasil menjual beberapa juta rekaman kepada penggemar mereka. Penjualan itu memang memperkaya label rekaman dan para anggota band.
Menipisnya pendapatan dari penjualan produk fisik telah menyebabkan para musisi dan pengusaha label rekaman saat ini menghadapi situasi menyedihkan. Mereka harus mengais-ngais rezeki untuk hasil kerja keras mereka.
Perebutan uang di antara musisi dan label rekaman inilah yang mengakibatkan pertikaian. Berita yang menghiasi media utama kita hari ini adalah perseteruan antara perusahaan bisnis, seperti kedai kopi dan restoran, dengan agensi manajemen hak cipta.
Saat ini, pendapatan dari hak mekanikal, atau hak yang dimiliki oleh pencipta lagu atau pemegang hak cipta untuk memperbanyak atau memproduksi karya mereka (misalnya mengedarkan lagu-lagu dalam format piringan hitam), menjadi sangat langka. Karena itu, pengusaha label rekaman serta para musisi harus beralih ke hak penerbitan dan hak-hak lain di seputarnya. Mereka lalu mengumpulkan royalti dari musik yang ditampilkan di panggung atau dimainkan sebagai suara latar di ruang ritel.
Masalah pembajakan dan kurangnya penegakan hukum terkait hak peredaran lagu atau penerbitan sudah sangat parah di Indonesia. Hal itu mengakibatkan devaluasi musik secara serius.
Para penggemar musik di Indonesia, bahkan yang paling serius sekalipun, cenderung menganggap remeh produk musik. Mereka enggan menghormati hak-hak musisi dan seniman yang telah mewarnai hidup kita semua dengan karya-karya indah mereka.
Data dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), lembaga yang bertugas mengelola royalti musik, menunjukkan bahwa lembaga itu hanya mengumpulkan Rp270 miliar (15,3 juta dolar Amerika) per tahun dari hak pertunjukan dan hak-hak lain yang terkait. Angka itu jauh lebih rendah daripada yang dikumpulkan oleh otoritas serupa di Malaysia. Negara yang penduduknya hanya 34 juta jiwa itu bisa mengumpulkan hingga Rp700 miliar dari royalti musik.
Masalahnya jelas, para perusahaan dan individu tidak mau membayar karya para seniman. Layanan streaming lalu memperburuk masalah.
Lagu apa pun yang Anda dengar di platform apa pun adalah akumulasi dari semua upaya keras, energi, dan perhatian para seniman yang berusaha sebaik mungkin untuk menciptakan keindahan.
Setidaknya yang bisa dilakukan para penggemar musik adalah membayarkan jumlah uang, yang sepadan dengan pengorbanan yang dilakukan para seniman untuk menciptakan lagu-lagu mereka tersebut. Tidak ada jumlah pasti soal berapa banyak uang tambahan yang harus kita bayar per lagu. Juga belum ada konsensus tentang pembagian beban ini antara konsumen dan eksekutif perusahaan streaming. Tetapi yang sudah jelas jadi kewajiban kita adalah membayar lebih banyak agar artis yang kita dengarkan lagunya bisa bertahan hidup. Jangan sampai mereka dibayar lebih rendah.
Para seniman tidak seharusnya menderita kelaparan saat terus berkarya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.